Halaman

Kamis, 28 Juli 2011

Nazaruddin Jual Celengan Sampai Celeng


Nazaruddin yang satu ini bukan buronan KPK, dia hanya orang yang mengais rejeki sebagai penjual celengan. Dia gelar dagangan di trotoar jalan, dia tidur dan makan di trotoar itu juga bersama Asep, putra sulungnya.

Namanya memang sama dengan mantan bendahara Partai Demokrat, tapi nasib mereka berdua ibarat bumi dan langit. Nazaruddin ini berasal dari Purwakarta, tepatnya Plered, kawasan para perajin guci dari keramik. Pria berusia 40 tahun ini profesinya sebagai penjual tempat menabung uang alias celengan terbuat dari tanah liat.

Sudah lebih 15 tahun pedagang yang biasa disapa Udin ini melakoni profesinya. Baru dua tahun lalu dia melibatkan Asep (15) putra sulungnya sebagai asisten. “Buat bantu-bantu bawa dagangan. Itung-itung sambil belajar. Kalau sudah bisa, biar dagang sendiri saja,” ujar Udin pasrah jika sang anak ingin ikut jejaknya.

Udin tertarik menjadi penjual celengan karena hampir semua tetangganya di kampung  melakoni hal serupa. “Ada yang kerja  di pabrik keramik, pabrik celengan, ada Bandar celengan, ada juga yang dagang gini kayak saya,” ujarnya sambil menikmati makan siang nasi bungkus bersama Asep.

Sudah setahun ini Udin mangkal di sisi Jalan Bangunan Timur, Kayu Putih, Jakarta Timur. Dia boyong sekitar 200 buah celengan berbentuk ayam, maca, kelinci, kucing, gajah dan bentuk lainnya dari Purwakarta. “Ada beberapa pedagang patungan sewa mobil bak dari Purwakarta,” ujar Udin.

Ratusan celangan itu digelar semua di trotoar sehingga menyajikan pemandangan warna-warni yang menarik. “Yang beli macem-macem. Ada yang dipake buat nabung, ada juga yang buat pajangan. Orang-orang kaya yang pake mobil banyak juga yang suka. Kalo beli suka banyak,” cerita Udin yang mematok harga antara  Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribb ini.

Udin dan anaknya hanya mengandalkan trotoar saja, tanpa meja apalagi tenda. “Kalau panas sih udah biasa, pake topi juga udah adem. Tapi kalo hujan kita lari ke situ buat neduh. Dagagannya ditutup plastik,” papar Udin sambil menunjuk tempat kios tambal ban diseberang jalan.

Usahanya ini buka 24 jam karena Udin dan Asep tidur bersama celengan di trotoar itu. “Sering juga, malem-malem lagi tidur ada yang beli. Namanya rejeki yang jangan ditolak,” ungkap ayah dari 4 anak yang sudah siap dengan jaket dan kain sarung untuk mengusir dingin malam.

Tubuh Udin yang kurus sering masuk angin lantaran selalu tidur di tempat terbuka. Kalau sudah merasa kondisi badannya kurang nyaman, dia segera minum obat anti masuk angin di warung. “Biasanya langsung seger lagi tuh,” paparnya.

Mengandalkan trotoar
Udin berkisah, di bulan-bulan pertama dagang di trotoar dirinya pernah mendapat musibah. Mungkin karena terlalu lelah dan kondisi badannya sedang tidak fit, Udin terserang demam tinggi dan menggigil di trotoar ditemani puluhan celengan.

“Waduh, saya nggak kuat. Sampe celeng (sakit) kayak gitu, badan menggigil. Waktu itu udah mau subuh, mau hujan lagi. Untung ada sopir bajaj yang mau antar saya ke klinik,” kisah Udin yang mengaku sehat lagi setelah minum obat.

Tidak Tetap
Udin dan Asep tidak selalu gelar dagangannya di sana, mereka punya dua titik lagi tempat usaha, di Bintaro Sektor X dan di Bekasi. Setiap bulan dia berpindah-pindah. “Sekali bawa 200 biji, seminggu habis. Saya pulang, istirahat dua hari, terus dagang lagi. Tempat pindah, sekarang di sini, minggu depan di Bintaro, terusnya di Bekasi,” ujarnya.

Meskipun merasa berat dan lelah melakoni usahanya ini, namun Udin tidak punya pilihan lain.  “Mungkin memang disini rejeki saya, sejak menikah sampai sekarang, semuanya dibiayai dari sini. Yang penting anak-anak bisa sekolah walaupun tamat SMP kayak si Asep ini,” tuturnya.

Sebenarnya Udin ingin ‘pensiun’ dan memilih menjadi pengepul celengan saja, tapi itu masih jadi angan-angan. “Modalnya gede banget kalo mau jadi ‘bandar’nya. Mau nabung gak pernah bisa, uangnya  habis terus buat biaya hidup,” papar Udin yang seminggu bisa dapat sekitar  Rp 200 ribu.
Bersaing dengan celengan kaleng dan plastik 

Semula Udin tidak mengerti mengapa celengan tanah liat masih diminati, sementara celengan dari kaleng dan plastik dengan harga lebih murah banyak dijual orang. Lalu dia tanya kepada beberapa konsumennya.

Menurutnya, orang beli celengan keramik untuk mengenang masa kecil dan sambil mengajarkan kebiasan menabung kepada anak-anaknya. Pernah suatu ketika ada seorang wanita paruh baya memborong 20 celengan. “Katanya mau dibagi-bagi ke anak cucunya biar semuanya menabung,” ujar Udin.

Asep yang masih sangat belia mengaku tidak keberatan membantu sang ayah mencari nafkah. Karena kondisi keluarga yang kurang beruntung, Asep harus merelakan masa remaja diisi kerja keras. “Kalau udah bisa jalan sendiri, saya mau pisah, dagang ditempat lain,” papar Asep.

Jika dagangannya tersisa beberapa buah, Udin dan Asep berkeliling perumahan memikul gajah, ayam dan kelinci tanah liat berharap ada yang berminat.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

‘Terapi Rel’ Dongkrak Selera Makan Anak



Jika di Stasiun Rawabuaya, banyak orang datang untuk terapi kesehatan, di Stasiun Manggarai, tiap sore didatangi puluhan pasutri muda mengajak balitanya agar mau makan.

Setiap sore, puluhan pasangan muda duduk-duduk di atas rel kereta di sisi selatan Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Sang suami sibuk menjaga balitanya berjalan di atas batu-batu kecil, sementara si istri menyuapi anaknya. “Kalau nggak diajak ke sini, susah makannya,” ungkap Lara (31), yang tinggal 10 km dari stasiun.

Alasan ibu muda  yang selalu datang bersama suami dan anaknya yang berusia 4,5 tahun ini  nyaris sama dengan alasan pasutri lain, agar anak-anak balitanya mau makan. Tengok saja barang bawaan mereka, hampir semuanya membawa tempat makan untuk anaknya.
Bermain sambil makan

Selain balita, banyak juga bocah bermain di atas jalur kereta yang jika sore jarang dilintasi kereta. “Kalau jalur ini jarang dipake, paling untuk langsir doang,” ujar Sidik (36) yang datang menemani Andi (7), putra sulungnya.

Menurut Sidik, putranya suka lihat kereta. Agar tidak penasaran, suatu ketika ia ajak anaknya itu ke sini. “Waduh, dia seneng banget. Eh, sekarang malah ketagihan, setiap sore minta ke sini terus,” paparnya.

Pasangan Yanti (31) dan Kadir (36) lebih heboh lagi. Mereka sengaja datang satu keluarga naik mobil. Selain bawa bekal makanan, mereka juga membawa kereta bayi dan sepeda mini. “Anak saya tiga, semuanya ikut. Mau lihat kereta katanya. Tuh mereka,” ujar Kadir sambil menunjuk ke arah seorang wanita dekat kereta bayi sedang menyuapi seorang bocah.

Sementara satu anak mereka hanya duduk di atas sepeda mini yang tidak bisa jalan diatas batu perlintasam kereta. Kadir baru sekali ini datang. Awalnya dia dengar cerita tetangga yang bilang kalau setiap sore disini selalu ramai. “Kebetulan anak saya yang kedua susah disuruh makannya. Kalau di sini sambil lihat kereta, dia mau makan,” papar Kadir.

Semula Kadir tidak menyangka suasana seramai itu, puluhan motor parkir berjejer di dekat pagar, sementara beberapa penjual makanan dan minuman sibuk melayani pembeli yang antri. “Kalau di Rawabuaya ada terapi rel untuk kesehatan, di sini terapi rel buat nafsu makan,” kelakar Kadir.

Setiap sepuluh menit ada kereta melintas, dari arah Bogor menuju Kota atau sebaliknya. Kereta luar kota dengan kecepatan tinggi pun sesekali melintas. Jika jalur kosong, mereka bermain atau sekedar duduk-duduk diatas besi rel kereta.
Jalur ini jarang dilalui kereta
Mereka tidak khawatir atau takut tertabrak kereta, pasalnya, setiap ada kereta yang akan melintas, petugas di stasiun selalu mengumumkannya lewat pengeras suara yang masih terdengar di tempat keramaian itu. “Kalau ada kereta, kita minggir,” ujar Nyoman (29) yang datang bersama anaknya yang berusia 5 tahun.

Rupanya para balita itu senang dengan keramaian di sana, sambil bermain dan melihat kereta, tanpa sadar mulut mereka terus mengunyah makanan. Orang tua mereka tidak perlu merayu agar anaknya membuka mulut dengan suka rela.

Mereka yang datang menikmati sore di sana hanya ‘menguasai’ satu jalur, yakni jalur 6 yang memang jarang dipakai. Jalur itu biasa digunakan untuk langsir atau parkir kereta saja. “Kalau lagi langsir jalanya pelan, kadang berhenti dulu. Anak-anak senengm bisa pegang-pegang kereta,” papar Nyoman yang dapat jatah tiap Sabtu temani anaknya ke sini.

Kemidi Putar
Menurut warga sekitar, awalnya hanya satu dua orang saja yang datang. Mereka membawa  anak untuk disuapi sambil lihat kereta melintas. “Saya juga nggak nyangka, lama-lama jadi rame kayak gini. Mirip pasar kaget. Sekarang ada kemidi putarnya lagi,” ungkap Yanah (44) warga yang tinggal di sisi perlintasan kereta.
Kemidi putar hadir di setiap keramaian

Cerita Yanah didukung Usup (28), penjual es krim keliling. Menurut pria kurus ini, sekitar setengah tahun lalu cuma  sedikit yang datang. “Setiap sore saya lewat sini, tadinya paling cuma satu dua orang aja. Tiap hari terus nambah banyak. Saya sih seneng-seneng aja, dagangan jadi laku banyak,” papar Ucup.

Jika semula yang datang hanya mereka yang ingin memberi makan anaknya, sekarang diantara mereka terselip sejoli yang sedang pacaran, atau bocah-bocah tanggung yang datang tanpa orang tua.

Kerumunan yang hanya berlangsung mulai pukul 15.30 sampai 18.00 Wib itu ternyata menarik minat pengelola kemidi putar. “Sudah dua minggu ada di sini,” kata Sodikin pemilik kemidi putar yang pasang tarip seribu rupiah sekali naik.

Pria  paruh baya ini mengira akan banyak yang naik kemidi putar, tapi perkiraan meleset. “Banyak anak kecilnya, pada ndak berani naik kemidi putar, wah jadi rugi nih, ongkos bawa kemidinya gak balik,” ungkap Sodikin yang berencana pindah lokasi.

Mereka senang lihat kereta dari dekat 
Seharusnya, antara lahan kosong dan jalur kereta itu dibatasi pagar besi, namun pagar besinya sudah ‘dijarah’ orang. Jika pihak stasiun membangun lagi pagar besi, atau mungkin pagar beton, mereka yang ingin ‘terapi nafsu makan anak’ harus cari lokasi lain. Kalau itu sampai terjadi, mungkin mereka cuma bilang,  “memang susah cari hiburan gratis di Jakarta”.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Minggu, 10 Juli 2011

Disinilah! Hypermart Loakan Jakarta

Jika ‘PI’ alias Plaza Indonesia dianggap pusat niaga berkelas, di Jatinegara Timur ada ‘JI’ alias Jembatan Item, pasar loak terbesar di Jakarta. Ratusan pedagang menggelar ‘koleksi’nya. Mulai jimat batu akik sampai Blackberry Onyx.


Sekitar lima tahun lalu, pedagang barang-barang bekas, biasa disebut barang loakan, yang mangkal di sekitar Lapangan Jenderal Urip Sumohardjo, Jalan Matraman Raya digusur. Sebagian besar mereka pindah ke kawasan Jembatan Item yang memang sudah ‘dikuasai’ belasan ‘pengusaha’ sejenis.


‘Migrasi’nya lebih dari seratus pedagang loakan itu disambut baik warga sekitar. “Tadinya di sini sepi. Sekarang jadi rame,” cerita Kurnain alias Bang Nain yang tidak lagi nganggur setelah dijatah lahan parkir seluar 20 meter persegi.


Bersama Cecep (65), sang paman, Bang Nain aplusan jadi jukir. Hari biasa mereka bisa dapat minimal Rp 30 ribu, Sabtu dan Minggu bisa tembus Rp 100 ribu. “Lumayan lah, gara-gara banyak yang datang ke sini, orang kampung sini jadi ketiban rejeki,” papar Cecep yang nyambi jualan rokok dan minuman ringan.


Para pedagang loakan itu memenuhi sekitar Jembatan Item, halaman Masjid Nurul Islam hingga masuk ke Gang Kohen. Sebagian lagi berjejer ke arah mulut Jalan Jatinegara 1, Jakarta Timur.


Di hari biasa pasar loak ini cukup ramai, namun Sabtu – Minggu dan hari libur, terkadang pengunjungnya sampai berdesakan. “Apalgi pas tanggal muda, wah parkiran sampai penuh,” ungkap Bang Nain.


Usaha mereka menempati lapak-lapak kecil di sisi jalan dan sisi kali. Namun lebih banyak yang hanya gelar dagangan diatas plastik bekas spanduk atau terpal. “Kita sewa tempat. Kalau gelaran kayak gitu repot harus bongkar pasang. Dagangan kita banyak,” ujar Mulyadi (38), anak pensiunan kolonel yang ‘terdampar’ di 


Jembatan Item.
Mulyadi tidak mau jual stik golf kepada anak sekolah
Mulyadi menempati lapak ukuran 2 x 2 meter bersama Iwan, rekannya. Mereka menjual beragam barang bekas, mulai jam tangan, ponsel, lukisan, alat cetak kue, sampai stik golf. “Apa aja kita jual deh, soal harga bisa nego sampai mentok,” kelakar Mulyadi yang harus menafkahi istri dan tiga anak dari lapak loakan itu.


Selain membeli barang bekas dari orang yang datang, Mulyadi juga sering ‘hunting’ ke beberapa perumahan elit. “Biasanya ada saja barang bekas yang dijual satpam, sopir atau babu (pembantu rumah tangga). 
Ketimbang dibuang majikannya, lebih baik dikumpulin, terus dijual ke saya,” ungkapnya.


Tidak ada patokan harga jika transaksi di sana. Satu jenis barang bisa tinggi harganya atau bahkan diobral murah sangat tergantung dari tawar menawar. Bocorannya, jika ingin dapat harga murah, bersikaplah seperti tidak butuh barang itu. “Alhamdulilah, paling dikit sehari bisa dapet Rp 50 ribu,” cerita Mulyadi.


Mulyadi sering menolak pelajar yang ingin membeli  stik golf. Dia kuatir barang itu digunakan untuk tawuran. “Saya inget anak saya yang STM. Jangan-jangan dia beli di sini, korbannya anak saya sendiri,” ujarnya.
Ada kabar miring yang menyebut, kawasan ini menjadi tempat copet dan maling ‘buang’ hasil kejahatannya. “Wah kalo soal itu sih tergantung masing-masing orang, mau jadi penadah pasti ada resikonya,” ungkap Mulyadi.
Barang dagangannya digelar hingga ke jalan.
Jika disimak, memang ada perbedaan. Pedagang loakan hampir 90 persen daganganya dalam kondisi rusak, sementara belasan pedagang ponsel jual ponsel bekas yang masih bisa digunakan. Mereka buka lapak dengan gelar terpal di sisi jalan atau pakai meja kecil.


Buyung, satu diantaranya tidak menampik kemungkinan barang yang dia beli kemudian dijualnya lagi itu hasil kejahatan. “Biasanya mereka jual batangan (tanpa kardus dan charger). Prinsip saya dia jual karena butuh uang. Saya tidak mau tahu itu barang dari mana asalnya,” ujar Buyung yang menjual Blackberry Onyx dengan harga miring.


Jembatan Item, Jalan Poncol, Senen dan Pasar Rumput, Manggarai memang menjadi bursa barang bekas di Jakarta. Jika beruntung, kita dapat barang atau spare part yang langka dengan harga murah.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Pasar Gembrong Gudangnya Mainan Cina

Ingin cari mainan anak murah tapi berkelas? Datang saja ke Pasar Gembrong. Di sana tersedia beragam mainan, mulai harga seribuan sampai ratusan ribu. Hampir semua barang di sana impor dari China.
Pasar Gembrong di kawasan Prumpung mudah ditemui, posisinya dipertigaan Jalan Achmad Yani dan Jalan Jenderal Basuki Rahmat. Sebenarnya lokasi itu tidak layak disebut pasar karena hanya berupa deretan kios-kios semi permanen di sisi jalan.
Awalnya lokasi itu merupakan pasar tradisional. Sekitar tahun 1960-an pasar itu dihuni pedagang sayuran, ikan dan dagangan lain layaknya pasar tradisional di Jakarta. Tahun 1998, tepatnya setelah kerusuhan Mei, beberapa warga sekitar dan pedagang sayur membangun kios semi permanent. Mereka menjual mainan anak dan alat tulis keperluan sekolah. Pionirnya adalah H. Bahruddin yang membuka kios di teras rumahnya.
Seiring  perjalanan waktu, banyak yang ikut berdagang hingga melayani partai besar alias grosiran. Jumlah kios terus bertambah hingga melebihi lahan, sehingga trotoar jalanpun habis dihuni pedagang.
Diantara jejeran kios hanya tersisa jalan kecil sehingga pembeli terpaksa bersenggolan jika melintas, karena itu ada juga yang menyebut Pasar Senggol. Selama hampir 13 tahun bertahan, kini tempat  itu menjadi ikon belanja mainan murah di Jakarta selain Tanah Abang dan Asemka.
Harganya yang miring ternyata membuat Pasar Gembrong kesohor sampai ke luar Jakarta, tidak sedikit pedagang mainan dari beberapa kota seperti Bogor, Bandung bahkan Cirebon singgah untuk melengkapi koleksi dagangan mereka.
Lebih dari 80 persen mainan di sini berasal dari China, sisanya produk lokal. Setelah perdagangan bebas ASEAN dan China (ACFTA) diberlakukan mainan anak dari China membanjir. Dampaknya, harga jualnya semakin murah.
Menurut Ramli (45), seorang pedagang, produk China semakin meningkat, bahkan hampir seluruh barang dagangannya berasal dari China.  “Karena belinya murah, saya jualnya lebih murah dari sebelumnya. Tapi ada juga mainan tertentu yang harganya tidak jauh beda di tempat lain,” papar Ramli.

Menurutnya harga mobil remote control menurun hingga 10 persen dari yang tadinya mencapai rata-rata Rp 100 ribu, sekarang turun sampai Rp 70 ribu. Jika beli grosiran, harganya bisa lebih murah lagi.
Konon para pedagang membeli secara grosir dari tangan ke dua, bahkan ke tiga, bukan langsung dari importir. Jika mereka mendapat dagangan langsung dari importir, tentunya harga jualnya bisa lebih murah lagi.
Kenyataan itulah yang membuat Pasar Gembrong hampir setiap hari dipadati pembeli dari semua lapisan masyakarat. Kalangan menengah bawah senang bisa membeli barang bagus dengan harga murah. Sementara mereka yang biasa ke mal, tentunya bisa berhemat jika membawa anak-anaknya ke sini.
Di pasar ini dijual mainan anak mulai dari mobil-mobilan, boneka barbie dan segala pernak-perniknya Murahnya harga membuat pasar ini selalu dipenuhi pembeli, terutama hari Sabtu, Minggu dan liburan.
Rina (38), hampir setiap bulan singgah di pasar ini. Ada saja mainan yang diminta putra bungsunya yang baru kelas dua SD. Menurut Rina, dia bisa mendapatkan mainan dengan harga nyaris separuhnya dibanding mainan serupa yang ada di mal. Sementara Rafiudin (41) yang buka toko mainan di rumahnya di Bekasi mengaku lebih suka belanja dagangan ke pasar ini, selain harga murah, lokasinya juga dekat.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Juragan Bambu Di Sisi Ciliwung

Bursa bambu di Jalan Manggarai Utara 2, Jakarta Selatan sudah eksis sejak 1960-an. Kini konsumennya semakin berkurang. Posisi bambu sudah diganti kayu dan besi.
Ada enam pedagang bambu masih bertahan di kawasan sisi Sungai Ciliwung itu. H. Hasbih, Juragan Bambu paling senior di sana. Hampir seluruh hidupnya berkutat dengan bisnis bambu. “Saya dagang bambu di sini sekitar tahun 70-an. sebelumnya cuma bantuin saudara saya yang dagang duluan,” kenang pria berusia 80 tahun ini.
Sekitar tahun 1960 sampai pertengahan 1980, para pedagang bambu dari Cilebut dan Bojong Gede, Bogor membawa bambu yang dibentuk seperti rakit melalui Sungai Ciliwung ke Manggarai. Orang biasanya menyebut kawasan itu Pangkalan Bambu.
Menurut Hasbih, waktu itu masih banyak pohon bambu di Bogor dan Sungai Ciliwung masih lebar. “Sekarang pohon bambunya habis, udah banyak perumahan di sana. Ciliwung-nya udah sempit, airnya juga dangkal,” ujar kakek dari 27 cucu ini.
Selain dari wilayah Bogor, kini bambu-bambu itu dikirim dari Sukabumi menggunakan truk. Jika stok bambu sudah menipis, atau ada order besar, mereka pesan bambu via telepon. Tidak sampai dua hari kiriman datang.
Awalnya ada sekitar 20 pedagang bambu di sana, karena peminat makin berkurang, sebagian besar gulung tikar atau ganti usaha lain. Hasbih masih bertahan karena dia punya prinsip, bambu masih tetap dibutuhkan. “Bambu itu banyak gunanya, bukan cuma jadi tiang doang,” ujarnya.
Memang banyak jenis bambu, namun hanya beberapa jenis saja yang dijualnya, seperti Bambu Andong, Bambu Betung, Bambu Tali dan Bambu Hitam. Bambu Andong  dan Betung biasanya digunakan untuk tiang, Bambu Tali dipakai untuk anyaman dan bilik, sedangkan Bambu Hitam cocok dibuat meja kursi.
Seperti pedagang lain, Hasbih menggunakan bantaran kali sebagai lapak. Ada tumpukan bambu setinggi 5 meter di lahan seluas 8 x 12 meter. Sementara  di teras sebuah bangunan semi permanen tempat tinggalnya ada beragam barang dagangan terbuat dari bambu, seperti obor, bilik, jaro, krey dan satu set meja kursi dari bambu.
Hasil kerajinan dari bambu itu tidak diproduksi sendiri, tetapi kiriman dari Bogor. “Banyak yang nitip dagangan di sini, nanti kalo udah laku baru saya bayar. Kalo gak laku-laku yang dibiarin aja sampe rusak dimakan rayap,” papar ayah dari 12 anak ini.
Delapan tahun belakangan ini peminat bambu semakin sedikit. Mungkin posisi bambu sudah digantikan dengan bahan bangunan lain seperti kayu atau besi. Jika sedang beruntung, dalam satu  hari Hasbih bisa menjual bambu dalam jumlah besar. “Kalo lagi sepi, seharian juga gak ada yang beli,” kisahnya.
Harga bambu dikisaran Rp. 4000,- sampai Rp. 9.000,- perbatang.  Biasanya pembeli partai besar untuk steger di proyek-proyek besar atau untuk tiang bendera dan umbul-umbul jika ada partai atau ormas sedang ada acara. Selebihnya mereka yang membeli perbatang untuk keperluan tertentu.
Ketika banjir musiman tahun 2005 lalu, kawasan itu ‘lenyap’. Air Cilwung meluap hingga atap rumah. “Semua dagangan saya hanyut. Ya, namanya musibah. Ini resiko tinggal di pinggir Ciliwung,” ungkap Hasbih yang rugi belasan juta karena banjir.
Sebelumnya pria sepuh yang masih memiliki semangat tinggi ini tinggal bersama keluarga di lapaknya. Setelah anak-anaknya berumah tangga, dia tinggal bersama istri dan putra bungsu yang membantunya menjalankan bisnis bambu menggantikan sang ayah menjadi juragan bambu.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Kaki Lima Bisnis Emas Batangan

Tempat usahanya di trotoar. Alatnya cuma timbangan, batu LM dan air raksa. Pelanggannya, mereka yang mau jual emas, mulai cincin bayi sampai emas batangan.


Sekitar pukul 9 pagi, Agus (49), baru saja memajang lemari timbangan diatas meja kecil persis di sebelah pintu masuk Kantor Pegadaian Jatinegara, Jakarta Timur itu menerima  telepon dari ‘orang dalam’ pegadaian.


Selang beberapa menit, seorang perempuan paruh baya keluar dari pegadaian. Dengan sigap Agus bangkit dari kursi plastiknya, pasang senyum ringan, kemudian menghampiri wanita yang tampak bingung itu. “Ada yang bisa saya bantu Bu?” sapa Agus ramah.


“Saya mau nebus kalung, tapi gak punya uang, kalung saya mau dilelang kalau gak ditebus hari ini,” cerita perempuan itu.   


Agus menawarkan jasa dirinya bisa menebus kalung seberat 5 gram itu dengan catatan perempuan itu harus menjual kalung tersebut kepadanya. Selisih uang setelah dipotong harga jual dan nilai tebusan menjadi milik perempuan itu.


Ketimbang kalungnya lenyap di meja lelang, perempuan itu setuju. Kemudian mereka sama-sama menebus kalung di pegadaian. Meskipun tetap ‘kehilangan’ kalung emasnya, namun perempuan itu masih punya uang selisih sesuai kesepakatan.


“Prinsipnya, sama-sama untung. Gak ada yang dirugikan,” ujar Agus yang sudah lebih dari 25 tahun menjalani profesi jual beli emas kaki lima. Di sekitar Kantor pegadaian itu sediktinya ada 12 ‘pengusaha’ serupa. “Saya paling senior,” ucap Agus bangga.


Di kalangan mereka, cara transaksi yang tadi dilakukannya tersebut disebut ‘beli surat gadai’. Banyak nasabah yang harus kehilangan emasnya di mejal lelang karena tidak mampu menebus. “Apalagi sekarang, harga emas lagi bagus, sayang kalau sampai dilelang,” papar ayah 3 anak dan kakek 4 cucu ini.


Agus mengaku sering dapat informasi dari ‘orang dalam’ pegadaian jika ada nasabah yang mengalami kesulitan dana. “Dia telepon atau sms. Dia sebutin ciri-ciri dan pakaiannya. Pas orang itu keluar, saya tawarkan jasa,” ungkapnya.


Tapi, tidak semuanya berjalan mulus, karena tidak semuanya tertarik. Bahkan  Agus sering dicuekin bahkan dimarahi. “Mungkin dia lagi mumet, terus saya rayu-rayu suruh jual emasnya. Dia malah marah-marah. Siapa yang mau jual, sembarang kamu ya!” ujar Agus menirukan makian itu.


Selain beli surat gadai, Agus lebih sering melayani orang yang menjual emasnya. Biasanya mereka jual ke sini karena tidak memiliki surat dari toko tempatnya membeli. “Mungkin suratnya hilang. Emas yang nggak pakai surat suka ditolak di toko, kalau pun diterima, harganya jatuh,” paparnya.


Meskipun tahu, mereka yang jual emas karena butuh uang, namun Agus pantang memanfaatkan situasi. “Saya pakai patokan harga standar. Yang penting masih ada lebihnya buat saya,” kata Agus.


Jika ada pemulung atau orang yang jual emas dari hasil ‘nemu’ di jalan, Agus suka menawar ‘seenak’nya. “Kelihatan dari barangnya, udah kotor, penyok-penyok. Yang jual juga dekil,” kelakar Agus.

Emas Batangan
Agar tidak dituduh sebagai penadah, Agus mengaku sangat cermat menyeleksi orang yang mau jual emasnya. “Kalau tampang serem, mau jual emas dalam jumlah besar, pasti saya tolak. Bilang aja baru ‘angkat barang’, modalnya habis,” cerita agus.




Menurutnya, sulit juga menilai orang hanya dari penampilannya saja. Terbukti beberapa bulan lalu, temannya sempat berurusan dengan polisi gara-gara beli emas dari seorang remaja keturunan Cina. “Dia ngaku disuruh ibunya jual emas buat bayar sekolah,” ungkap Agus.

Dua hari kemudian polisi membawa temannya itu untuk diperiksa sebagai saksi. Ternyata emas itu hasil curian. “Anak itu nyolong emas ibunya, terus dijual buat foya-foya. Untung barangnya belum dilebur, jadi kasusnya bisa kelar. Temen saya cuma jadi saksi aja,” terang Agus yang juga sering beli emas batangan.


Sebagai ‘pengusaha kaki lima’, modal Agus sangat terbatas. Dia hanya mampu membeli emas paling banyak sehari 5 sampai 10 gram. Kemudian emas itu dijual kembali kepada pengepul emas yang disapa ‘Bos’. “Sama si bos, emasnya dilebur lagi,” papar Agus.


Jika ada yang ingin jual emas diatas 10 gram atau emas batangan, Agus segera mengontak bosnya. Sebelum nge-deal harga, dia mengecek dulu keaslian dan kadar emasnya. Pertama emas digesekan ke batu LM, batu khusus untuk mengetes kadar emas. Kemudian diolesi air raksa emas, dan air raksa koneng.


“Kalau emas, bekas gesekannya nggak hilang setelah dikasih air raksa. Tapi kalu bukan emas langsung hilang. Kalau perak, bekas gesekanya berubah putih  seperti santen. Nah, kalau harga udah cocok, nanti bos saya yang beli, saya cuma ambil komisinya aja, upah gesek-gesek,” terang Agus.


Agus yang mewarisi usaha kakeknya ini belajar mengenal kadar emas secara otodidak. Dia pernah membeli cincin yang ternyata hanya dilapis emas. “Waktu saya gesek memang emas asli, eh pas mau dilebur ternyata dalamnya perak,” ungkap Agus yang nombok sampai Rp900 ribu. Angka cukup tinggi sepuluh tahun silam.


Agar tidak tertipu lagi, jika merasa curiga, Agus minta persetujuan untuk memotong perhiasan itu setelah deal harga. “Nih, saya sudah siapkan tang pemotongnya,” paparnya.


Uang Longok
Sambil membersihkan timbangan tua warisan kakeknya, Agus mengucap syukur bisa menghidupi keluarga hingga sekarang. “Tanggung jawab saya tinggal satu, nyekolahin anak bungsu saya yang masih kelas 3 SMP. Kakak-kakanya udah pada kawin, semuanya dibiayai dari usaha ini,” paparnya.


Meskipun tidak ada kepastian, namun Agus mengaku ikhlas menjalani usahanya itu. Dalam sebulan bisa 3 sampai 4 kali nihil tidak ada transaksi. “Dapetnya nggak pasti, kalau dirata-rata, sehari bisa ngantongi lima puluh ribu,” ungkapnya.


Ada kebiasaan unik di kalangan mereka. Jika diantara mereka kebetulan nihil, teman yang dapat rejeki wajib memberinya Rp5000. “Misalnya saya baru dapat barang, temen saya lagi apes. Biasanya dia datang ke saya, nah saya harus kasih goceng tuh. Namanya ‘uang longok’. Begitu juga kalao saya lagi nihil,” terang Agus.


Pria bersahaja yang tinggal di Kampung Pulo, Jatinegera, tidak jauh dari tempatnya usaha itu mengaku merasa tertolong dengan adanya handphone. “Dulu kalau ada yang mau jual, saya harus jalan ke pasar cari-cari bos. Orangnya pindah-pindah, sekarang nongkrong di Jatinegara, besok di Kramat Jati. Sekarang tinggal telepon aje,” kata Agus sambil memamerkan Nokia pisangnya.


Selain sebagai lahan cari nafkah, pria kelahiran Jakarta ini merasa juga melakukan ibdah dengan membantu orang yang kesulitan uang. Dan Agus merasa sebagai orang paling ramah sedunia. “Setiap yang lewat saya sapa dengan senyum sambil bilang... mau jual emas...”*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Minggu, 03 Juli 2011

Tunggangi ‘Luna Maya’ Cuma Bayar Ceban

Setiap minggu pagi, puluhan kuda tunggang ‘parkir’ di depan gedung arena Pacuan Kuda Pulomas. Diantara kuda-kuda sewaan itu terdapat belasan ‘veteran’ kuda pacu, salah satunya bernama Luna Maya.

Sunday Market alias pasar kaget di kawasan Pacuan Kuda Pulomas, Jakarta  Timur sudah berlangsung lama. Seratus lebih pedagang berbaur dengan pengunjung yang ingin berolahraga, cuci mata, atau ingin cari hiburan bersama keluarga.

Sejak pagi hingga siang, para pedagang berjejer di sisi jalan menawarkan beragam dagangan. Mulai dari pakaian, makanan, minuman, tas, sepatu, minyak wangi, aksesoris telepon genggam hingga pernak-pernik unik.

Jajanan kuliner pun lumayan lengkap, ada tukang es cendol, es cincau dan burger. Mereka yang ingin sarapan pagi bisa pilih menu nasi uduk, bubur ayam, ketoprak, aneka soto dan lontong sayur.

Para pedagang mulai membuka lapaknya dari pukul 05.00 WIB sampai 12.00 WIB. Namun, ada juga yang sudah menutup dagangannya lebih cepat. Mereka yang berdagang di sana biasanya menggunakan mobil pribadinya untuk memajang barang dagangannya.

Dian (32),  warga Utan Kayu, Jakarta Timur  mengaku sudah lebih dari empat bulan berdagang pakaian di tempat ini. Pukul tiga subuh dia sudah di lokasi mempersiapkan daganganya yang dipajang di mobil Toyota Avanzanya.

Suasana beda tersaji di halaman depan Gedung Pacuan Kuda. Areal parkir  luas yang sehari-harinya dipakai untuk latihan mengemudi mobil itu menjadi tempat ‘parkir’ puluhan kuda tunggang dan delman.

Kusir delman berhiasan warna-warni itu mematok harga Rp20 ribu untuk keliling kawasan Pulomas. Daya angkutnya cukup banyak, bisa membawa 7 penumpang. Jamil (29), mengaku sudah tiga tahun setiap hari minggu mangkal di sana. Di hari biasa, Jamil ‘narik’ delman di sekitar pemukiman penduduk.

“Di sini ramenya minggu doang. Hari biasa saya pindah-pindah mangkalnya. Lihat-lihat tempat yang rame, banyak anak-anaknya,” ujar Jamil yang mematok harga seribu rupiah perorang untuk naik delman di jalan sekitar pemukiman penduduk.

Kuda dan delman itu milik tetangganya di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Jamil harus kejar setoran sebelum mengantongi keuntungan. “Kalo hari biasa setorannya enam puluh ribu. Hari minggu seratus ribu,” papar Jamil yang bisa bawa pulang hingga Rp200 ribu setiap hari minggu.

Pengunjung yang ingin menikmati sensasi kuda tunggang, bisa langsung sewa. Ukuran kudanya beragam. Ada yang kecil, sedang dan besar. “Kuda yang besar-besar itu bekas kuda pacuan. Karena umurnya sudah tua dan nggak kuat lari kencang lagi, dia ‘dibuang’ kesini,” ujar Jhon (20), pemandu kuda tunggang.

Kuda Sion, namanya Luna Maya, ukurannya sedang, usianya sudah lima tahun. “Ini kuda Sumbawa, karena namanya Luna Maya dan ini betina, banyak yang tertarik ingin naik. Kudanya nggak besar, jadi orang nggak takut,” promosi Jhon, perantauan Manado ini.

Seperti pemandu lainnya, Jhon pasang tarif Rp10.000,- untuk satu kali putaran. Penyewa yang sudah bisa naik kuda tidak perlu dipandu lagi. Sementara bagi pemula, Jhon akan mendampingi sambil pegang tali kendali. “Murah kan, bayar ceban (Rp10.000,-) bisa tunggangi Luna Maya,” kelakarnya.

Hidup kuda tunggang mantan kuda pacu itu sudah diserahkan kepada pelatih yang menetap di kawasan arena pacuan. Untuk membeli pakan hewan itu, pelatih bagi hasil dengan para pemandu dari hasil sewa kuda.

“Pemilik kudanya udah gak peduli lagi, ketimbang mati kelaparan, ya, disewakan saja, lumayan, saya dapat uang, pelatih dapat bagian, kudanya juga dapat makan,” terang pria bertubuh kecil yang sedang latihan menjadi joki kuda pacu ini.*

http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Undur-undur ‘Si Monster’ Manjur


Nama latinnya Myrmeleon Sp, dilihat melalui kaca pembesar, wujudnya seram seperti monster. Kita mengenalnya dengan sebutan Undur-undur, larva kecil yang dipercaya bisa menyembuhkan diabetes dan penyakit lain. Kini hewan anti air itu dibudidaya dan  diperjual belikan secara online.

Jika singgah di Pasar Burung, Jalan Bekasi Barat, Jatingera, Jakarta Timur, kita jumpai beberapa pedagang Undur-undur, salah satunya Bang Jupri. Pria paruh baya yang mangkal di halte bis depan SMPN 14 ini menjual eceran dan partai besar. “Saya punya stok banyak, kalau kurang nanti ada yang setor,” ujarnya.

Untuk menarik pembeli, Bang Jupri yang sudah mangkal di sana sejak lima tahun silam itu sengaja pasang papan nama relatif besar. “Kalau nggak ada tulisan gede begini, orang nggak tahu saya dagang apa. Yang dijualkan kecil-kecil, ngumpet lagi dipasir,” kelakarnya.

Promosi Bang Jupri, Undur-undur dapat menyembuhkan penyakit diabetes, darah tinggi, stroke, sesak napas, reumatik, sakit kuning, pegel linu, dan lainnya. “Untuk menjaga stamina juga biar sehat dan fit terus. Nih baca brosurnya,” papar Bang Jupri seraya menyodorkan fotokopian brosur.

Harga seekor Undur-undur di sana berkisar antara Rp800,- sampai Rp1000,-. Jika beli dalam jumlah besar, harga bisa lebih murah. “Kalau belinya diatas 50 ekor, nanti saya diskon lagi deh,” ujar Bang Jupri yang juga menjual obat herbal lain seperti Sarang Semut dari Papua.

Meskipun bentuknya kecil dan lunak, Undur-undur sulit ditangkap. Hewan ini tinggal di dalam pasir yang dibentuk seperti kawah gunung “Kalau musim hujan, jarang ada, biasanya di pasir samping rumah, teras, pesisir. Banyak yang kirim dari Jawa Tengah,” ungkap Bang Jupri.

Selama ini, selain mengandalkan kiriman pengepul dari Jawa Tengah, Bang Jupri mengaku suka ‘berburu’ Undur-undur sendiri. Dia mendatangi rumah-rumah yang halamannya berpasir atau ke Tempat Pemakaman Umum (TPU). “Biasanya di rumah kosong atau dekat kuburan yang tanahnya kering dan berpasir,” ujarnya.

Jika over stoknya, Bang Jupri  terpaksa harus merawat ratusan bahkan ribuan Undur-undur itu di rumahnya. Dia gunakan akuarium atau wadah plastik  yang diisi pasir halus. Sebagai pakannya, Bang Jupri memberi semut kecil atau susu bubuk. “Ditaburi susu sedikit di atas pasirnya, pasti habis dimakan,” cerita Bang Jupri.

Menurut Bang Jupri, agar tidak over dosis, mengkonsumsi Undur-undur harus disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, jenis penyakit dan stadium penyakit. Jika untuk menjaga stamina, cukup dengan satu kapsul sehari yang berisi tiga undur-undur.

Warisan Tiongkok
Kebiasaan mengkonsumsi Undur-undur sebagai obat diabetes rupanya sudah berlangsung lama di Tiongkok. Orang-orang Tiongkok biasanya mencampur beberapa Undur-undur dan bahan herbal ke dalam kapsul.

Semula Undur-undur yang dalam bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan Diguniu yang sudah dikemas dalam kapsul kurang diminati. Baru sekitar lima tahun silam, justru Undur-undur hidup malah diburu dan diminati. Kondisi itu tidak lepas dari peran media, terutama media internet.

Undur-undur atau dalam bahasa Inggris disebut Antlion adalah kelompok binatang holometabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami metamorfosis sempurna adalah telur, larva, pupa, dan imago. Dilihat dengan kaca pembesar, bentuknya memang menyeramkan, mirip monster.

Secara medis, kepercayaan sebagian masyarakat tentang Undur-undur sebagai obat diabetes memang belum bisa dibuktikan. Sebab itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Aru W. Sudoyo, tidak berani merekomendasikan undur-undur sebagai obat diabetes.

Namun menurut Dr. Huang Lie Ying, seorang sinshe dari Gubeng, Surabaya, Diginiu memang sudah lama digunakan di Tiongkok sebagai obat diabetes. ”Namun, penelitian klinis dan pemakaiannya secara klinis di Tiongkok belum ada,” ungkap Huang.

Tyas Kurniasih, peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta pernah membuat tesis berjudul Kajian Potensi Undur-Undur Darat. kesimpulannya, binatang ini mengandung zat sulfonylurea yang dapat melancarkan kerja pankreas dalam memproduksi insulin.

Karena, ketika insulin dalam tubuh manusia menurun sementara kadar glukosa darah meningkat, maka terjadi ketidakseimbangan. Jika insulin sebagai penghasil energi tubuh terus berkurang, tubuh mudah terserang penyakit.

Darmansyah (55), salah seorang pelanggan Bang Jupri mengakui keajaiban makhluk kecil itu. Pensiunan Departemen Perhubungan ini merasa sudah bisa mengendalikan kadar gula darahnya dengan mengkonsumsi Undur-undur.

Warga Klender, Jakarta Timur ini awalnya mengidap diabetes dengan kadar gula darah mencapai 300 mg/dl. Namun, setelah rutin menelan undur-undur, gula darahnya turun menjadi 140 mg/dl.

Awalnya dia minum sehari dua kali dengan cara ditelan. Sekali telan langsung tiga ekor. Karena, kadar gula darahnya sudah turun, konsumsi undur-undurnya berkurang menjadi tiga ekor sehari. “Jika terlalu banyak badan jadi panas,” kisah Darmansyah.

Dijual Online
Sekitar lima tahun silam, Suganda, warga Desa Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sudah membudidayakan Undur-undur. Dia tertarik mengembangbiakan hewan yang biasa hidup di pasir kering dan berjalan mundur ini setelah tahu khasiatnya.

Cara beternak undur-undur relatif mudah. Cukup menyediakan kotak berisi pasir kering, lembut dan beberapa ekor bibit undur-undur. Suganda menempatkan ‘ternak’nya itu di dalam kotak dari stereofoam atau kotak kayu.

Hanya dalam waktu satu minggu, Undur-undur akan menetaskan telur disarangnya yang mirip kawah gunung. Untuk pangannya, undur-undur hanya membutuhkan serangga kecil seperti semut atau telur semut herang. Kadang diberi susu bubuk. Undur-undur pantang kena air., dan setiap pagi dijemur wajib sekitar dua jam.

Selain Bang Jupri dan beberapa rekan seprofesi yang mangkal di kawasan Jatinegara, plus Suganda yang membudidayakannya, masih banyak orang menggantungkan hidup dari Undur-undur. Bahkan,  Undur-undur pun sudah dibisniskan lewat internet, alias bisa transaksi secara online.

Seperti yang dilakukan Okman yang menawarkan Undur-undur seharga Rp1000,- perekor. Okman hanya melayani pembelian dalam satu paket minimal 100 ekor plus bonus 25 ekor. Menurutnya, jika beli dalam partai besar, harganya masih bisa ‘digoyang’ lagi alias lebih murah.

Dengan moto “kirim dulu baru bayar” Okman melayani pembeli dari berbagai daerah hingga negeri jiran. Umumnya mereka adalah pemakai, bukan pedagang. “Awalnya mereka hanya coba-coba, setelah merasakan kemanjurannya, mereka menjadi langganan,” papar Okman.

Testimoni orang yang pernah merasakan langsung pasti lebih ‘mujarab’ sebagai media promosi ketimbang beriklan.  Begitu juga dengaj booming Undur-undur ini lantaran pengakuan dari mereka yang sudah tertolong setelah mengkonsumi makhluk kecil itu.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Majalah Bobo Ada, Playboy Juga Tersedia

Pedagang buku dan majalah bekas di Pasar Proyek Senen ‘tersengal-sengal’. Meski pelanggan makin sepi, mereka coba bertahan. Jika butuh majalah edisi lama, singgah saja, majalah Bobo ada, Playboy juga tersedia.

Siang itu, teriknya langit Jakarta seolah tembus ke kios-kios pedagang buku dan majalah bekas di Pasar Proyek Senen. Beberapa pedagang memilih bertelanjang dada mengusir gerah di kios yang bersisian dengan Terminal Bis Senen.

Di kios-kios tidak seberapa luas, dan banyak kios tanpa dinding itu puluhan pedagang mengadu untung menawarkan buku dan majalah bekas. Menurut Siregar (32), yang sudah sepuluh tahun mangkal di sana, pedagang hanya menjual satu jenis barang, buku atau majalah saja.

“Tadinya saya ikut orang jual majalah bekas. Setelah menikah, saya harus mandiri. Karena cuma usaha ini yang saya bisa, modal dari orang tua di kampung saya buat usaha ini,” ungkap Siregar yang sedang menanti kelahiran anak pertamanya ini.

Pria bertubuh kekar ini mengaku omzet penjualan majalah bekas semakin lama semakin merosot. Dia belum bisa menyimpulkan apa penyebabnya. “Katanya sih gara-gara internet. Orang yang butuh referensi dan data cukup lihat di internet, nggak usah cari-cari buku atau majalah,” ungkapnya.

Argumentasi Siregar bisa juga benar. Dulu sebelum internet merakyat, orang berburu buku dan majalah bekas untuk melengkapi data tesis, skripsi, atau sekedar ingin mengoreksi informasi masa lalu. Kini cukup di klik, semua informasi terpampang di depan mata.

“Sekarang pembelinya terbatas kolektor atau sesama pedagang dari luar Jawa. Kalau nggak ada mereka, saya sudah gulung tikar,” ungkap Siregar yang mengaku memiliki banyak pelanggan dari Sumatera, Kalimantan dan Jambi. Biasanya para pedagang dari daerah itu datang sebulan sekali untuk memborong.

Untuk melengkapi koleksi dagangannya, Siregar tidak perlu lagi berburu majalah bekas. Sebab, biasanya ada saja orang datang ingin menjual majalah bekas. Dia ini akan memilih, majalah apa yang akan laku dan memiliki harga jual tinggi.

“Sulit menentukan mana yang bagus, kadang kita anggap bagus, eh, belum tentu laku. Ada yang kita tidak anggap, malah laku dengan harga tinggi,” cerita Siregar yang pernah menjual satu majalah dengan harga Rp100.000,-.

Waktu itu, cerita Siregar, ada seorang pria datang mencari sebuah majalah terbitan ibukota. Majalah itu tidak popular, bahkan hanya terbit beberapa tahun saja. Hitungan Siregar, harganya tidak lebih dari sepuluh ribu.

“Rupanya orang itu sudah cari-cari tapi tidak dapat. Dia bilang mau bayar berapa saja kalau ada. Pas saya cari-cari, ternyata ada satu terselip diantara dagangan saya. Orang itu mau bayar seratus ribu,” kenang Siregar.

Untuk menentukan harga, pria berambut ikal ini lihat-lihat dulu seperti apa ‘butuh’nya si calon pembeli. Jika terlihat sangat membutuhkan majalah yang dicari, Siregar akan pasang harga tinggi. Jika calon pembeli tampak santai saja, biasanya akan ditawari dengan harga  normal.

Selain tahun edisi yang menentukan harga, kondisi majalah juga bisa jadi patokan. Biasanya majalah tua harganya relatif mahal, apalagi jika masih ‘mulus’. Majalah anak-anak Bobo dihargai Rp1.500,- majalah lain terbitan lima tahun belakangan berkisar antara lima sampai dua puluh ribu rupiah. Khusus majalah impor, minimal dipatok Rp30.000,- termasuk majalah Playboy impor.

“Yang lokal juga ada, tapi kurang laku, tuh masih banyak. Kalau Playboy impor banyak yang cari. Tapi nggak dijual sembarangan. Hanya beberapa pedagang saja yang punya, kalau ada pembeli baru saya carikan,” ungkap Siregar yang tidak mau menyebut harga.

Untuk memulai usahanya ini, minumal dibutuhkan modal sekitar Rp15 juta. Untuk sewa kios sekitar Rp10 juta dan untuk melengkapi dagangan sekitar Rp5 juta. “Sebagian dagangan ini titipan orang. Modal saya masih kurang,” ujar Siregar.

Kios di sini mulai buka sejak pukul delapan pagi sampai pukul lima sore. Jika beruntung


Siregar bisa mengantongi sedikitnya Rp50 ribu sehari. Tapi kalau sedang sepi, satu majalah pun tidak beranjak dari kiosnya.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Nak



Jauh jalan yang harus kau tempuh
Mungkin samar bahkan mungkin gelap
Tajam kerikil setiap saat menunggu
Engkau lewat dengan kaki yang tak bersepatu

Duduk sini Nak dekat pada bapak
Jangan kau ganggu ibumu
Turunlah lekas dari pangkuannya
Engkau lelaki kelak sendiri

Nak dengarlah bicara bapakmu
Yang kenyang akan hidup terang dan redup
Letakkan dahulu mainan itu
Duduk dekat bapak sabar mendengar

Kau anak harapanku yang lahir di jaman gersang
Segala sesuatu hanya ada karena uang

Kau anak dambaanku yang besar di kancah perang
Kau harus kuat yakin pasti menang

Sekolah biasa saja jangan pintar-pintar percuma
Latihlah bibirmu agar pandai berkicau
Sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu
Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel
Pedulu titel didapat atau titel mu’jizat

Sekolah buatmu hanya perlu untuk gengsi
Agar mudah bergaul tentu banyak relasi
Jadi penjilat yang paling tepat
Karirmu cepat uang tentu dapat
Jadilah Dorna jangan jadi Bima
Sebab seorang Dorna punya lidah sejuta

Hidup sudah susah jangan dibikin susah
Cari saja senang walau banyak hutang
Munafik sedikit jangan terlalu jujur
Sebab orang jujur hanya ada di komik
Pilihlah jalan yang mulus tak banyak batu
Sebab batu-batu bikin jalanmu terhambat

Pilihlah jalan yang bagus tak ada paku
Sebab paku itu sakit apalagi yang berkarat

Jadilah kancil jangan buaya
Sebab seekor kancil sadar akan bahaya
Jadilah bandit berkedok jagoan
Agar semua sangka engkau seorang pahlawan
Jadilah bunglon jangan sapi
Sebab seekor bunglon pandai baca situasi
Jadilah karet jangan besi
Sebab yang namanya karet tahan kondisi

Anakku aku nyanyikan lagu
Waktu ayah tak tahan lagi menahan murka
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Kisah Petani Kota Di Lahan Sengketa


Banyak lahan kosong di Jakarta dimanfaatkan untuk pertanian kota, salah satunya di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Tanah luas itu ditanami bermacam sayuran. Hasil panennya masuk di banyak rumah makan terkenal.

Pagi itu, persimpangan Jalan Pemuda masih lengang. Jarum jam baru beranjak dari angka 6 pagi. Beberapa asongan koran, rokok dan masker penutup wajah masih santai di bawah tiang lampu merah.
Beberapa meter dari persimpangan yang sebentar lagi dipadati kendaraan itu, kesibukan sudah dimulai. Belasan pria berkulit gelap bolak-balik menyiram tanaman dari dua ember besar dipikulan. Di lahan luas yang sempat jadi pemukiman liar itu kini berubah hijau, segar dan menjadi sumber penghasilan bagi banyak orang di sana.

Dekat pintu masuk lahan seluas 1,8 hektar itu berdiri papan nama yang sudah usang. Samar-samar terbaca tulisan yang menjelaskan tanah tersebut dikuasai Pemkot Jakarta Pusat. Lantas bagaimana ceritanya lahan ‘sengketa’ itu bisa dimanfaatkan oleh para petani kota tersebut.

“Jangan disebut tanah sengketa, kurang enak didengarnya. Ini milik Pemda, saya dipercaya untuk mengelolanya selama belum dimanfaatkan. Kalau dibiarkan, nanti jadi pemukiman liar, kan repot,” ujar Tri (41) yang mengaku bertanggung jawab kepada seseorang pejabat di lingkungan Pemda.

Hari itu, Tri sedang memperbaiki satu mesin pompa air yang rusak. Untuk memenuhi kebutuhan semua tanaman dilahan itu dibutuhkan lima mesin pompa. “Kalau rusak begini, pasokan airnya bisa kurang, kalau dibiarkan bisa gagal panen. Tanaman di sini hampir semuanya harus sering disiram,” ungkap Tri yang dibantu Rizal (21) memperbaiki mesin pompa tersebut.

Lahan seluas itu digarap oleh lima pemborong yang telah mendapat ‘jatah’ lahan garapan sesuai kesepakatan dengan Tri selaku pengelola lahan. Tiap pemborong mempekerjakan buruh tani antara 2 sampai 5 orang. Mereka dibayar Rp30.000 perhari. Tugas mereka mulai dari menanam bibit sampai panen.

Semua kebutuhan bercocok  tanam menjadi tanggung jawab pemborong. Mulai dari membeli bibit, pupuk dan obat anti hama. “Semua kebutuhan mulai dari membeli bibit sampai panen, termasuk bayar uang listrik menjadi tanggung jawab saya,” ujar Rizal, yang meneruskan ‘jabatan’ pemborong dari ayahnya.

Hampir semua yang menggantung hidup di lahan itu berasal dari Bogor, Jawa Barat. Rizal melanjutkan posisi ayahnya sebagai pemborong sejak tiga tahun silam itu. Sang ayah  sudah mengadu nasib sebagai petani kota sejak lahan itu ‘dibersihkan’ dari penghuni liar sekitar tahun 1999 lalu. Kini lelaki sepuh itu memilih istirahat di Bogor sambil tunggu setoran dari anaknya.

Para pemborong hanya menanam lima jenis sayuran yang dianggap mudah dijual, seperti kangkung, selada, sawi putih, kemangi dan bayam. Rizal lebih suka menanam selada dan dan kemangi karena sudah punya pelanggan tetap.
Selain membawa hasil panen ke pasar terdekat, mereka juga punya konsumen tetap penjual masakan pecel lele dan beberapa rumah makan di sekitar Jakarta. Terkadang ada konsumen rumah tangga datang membeli untuk dikonsumsi sendiri. Alasan mereka, selain masih segar, harganya lebih murah. Sebuah rumah makan terkenal yang mengandalkan menu bebek kremes menjadi pelanggan tetap Rizal.

“Datangnya sih nggak setiap hari, tapi sekali belanja bisa sampai 500 ribu. Kalau kebetulan saya tidak siap panen, nanti saya suruh ambil di temen saya (pemborong lain) yang sudah bisa panen,”  cerita Rizal tentang rumah makan itu
.
Agar tanamannya bisa sering dipanen, para pemborong harus bisa mengatur waktu tanam yang tepat. Sekian ratus pohon ditanam hari ini, ratusan lain di hari berikutnya. Habis panen langsung tanam lagi, begitu seterusnya. “Tapi, bisa gagal panen juga kalau kurang hati-hati merawatnya,” terang  Rizal.

Pemborong muda ini mengaku, setiap minggu wajib setoran ke Bogor. Setelah dipotong semua biaya, paling sedikit Rizal serahkan sekitar Rp2 juta. “Mungkin penghasilan saya paling kecil, karena tanahnya paling sedikit. Pemborong lain tanahnya lebih luas,” tutur Rizal yang mengantongi sedikitnya Rp200 ribu setiap minggu untuk kebutuhan pribadinya.

Dibayar Harian
Tumbuh subur atau matinya tanaman di sana tergantung dari perlakuan Suganda Cs. Bersama 24 buruh tani lainnya, pemuda berusia 25 tahun mulai pagi hingga petang berkutat di antara tanaman di bawah terik matahari.

“Tugas saya apa ya.., ya semuanya. Maculin tanah, tanam bibit, siram tanaman, sampe panen. Hidup matinya tanaman ini tergantung saya. Kalo si bos (pemborong) kan tahunya panen, terima uang. Semuanya kita yang ngerjain,” ungkap Suganda yang juga asli Bogor ini.

Sudah hampir setahun Suganda menjadi anak buah Rizal. Sebelumnya dia kerja serabutan, termasuk pernah menjadi penjual balon keliling. “Enak di sini sih, nggak usah muter-muter kayak waktu jualan balon. Sehari dibayar tiga puluh. Dua puluh disimpen, sepuluhnya buat makan sama rokok,” cerita Suganda yang hanya ambil upah kalau sedang butuh atau ingin pulang ke Bogor saja.

Mungkin upah sebesar itu relatif cukup untuk Suganda yang masih lajang. Namun untuk Sarip (38), upah sebesar itu hanya cukup untuk makan istri dan dua anaknya. Anak sulungnya sudah kelas 2 SD, sementara yang si bungsu tahun ini masuk SD. “Untung istri saya bantuin. Dia jualan nasi buat temen-temen di sini,” ujra Sarip yang setiap pagi mengantar anaknya sekolah di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.

Awalnya Mumun (36), sang istri menolak diajak tinggal di kebun itu. Selain harus tinggal bersama yang lain di rumah bedeng kumuh, Mumun juga merasa takut hidup di tengah kota tapi tidak ada tetangga. “Eh, sekarang dia betah. Bisa jualan nasi buat nambah-nambah,” ungkap Sarip senang.

Rizal, Suganda, keluarga Sarip dan mereka yang mengandalkan hidup dari lahan sengketa itu tidak tahu sampai kapan bisa bertani disana. “Diawal kita sudah membuat perjanjian tidak akan menuntut apa-apa jika tanah ini akan digunakan oleh pemiliknya,” ujar Tri yang juga mengelola lahan serupa di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Jika setahun lagi, sebulan lagi, atau mungkin minggu depan lahan itu harus dikosongkan, mereka wajib angkat kaki. Mungkin mereka akan cari lahan lain, atau pekerjaan lain. Pastinya mereka harus memulai dari nol lagi.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png