Halaman

Kamis, 28 Juli 2011

‘Terapi Rel’ Dongkrak Selera Makan Anak



Jika di Stasiun Rawabuaya, banyak orang datang untuk terapi kesehatan, di Stasiun Manggarai, tiap sore didatangi puluhan pasutri muda mengajak balitanya agar mau makan.

Setiap sore, puluhan pasangan muda duduk-duduk di atas rel kereta di sisi selatan Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Sang suami sibuk menjaga balitanya berjalan di atas batu-batu kecil, sementara si istri menyuapi anaknya. “Kalau nggak diajak ke sini, susah makannya,” ungkap Lara (31), yang tinggal 10 km dari stasiun.

Alasan ibu muda  yang selalu datang bersama suami dan anaknya yang berusia 4,5 tahun ini  nyaris sama dengan alasan pasutri lain, agar anak-anak balitanya mau makan. Tengok saja barang bawaan mereka, hampir semuanya membawa tempat makan untuk anaknya.
Bermain sambil makan

Selain balita, banyak juga bocah bermain di atas jalur kereta yang jika sore jarang dilintasi kereta. “Kalau jalur ini jarang dipake, paling untuk langsir doang,” ujar Sidik (36) yang datang menemani Andi (7), putra sulungnya.

Menurut Sidik, putranya suka lihat kereta. Agar tidak penasaran, suatu ketika ia ajak anaknya itu ke sini. “Waduh, dia seneng banget. Eh, sekarang malah ketagihan, setiap sore minta ke sini terus,” paparnya.

Pasangan Yanti (31) dan Kadir (36) lebih heboh lagi. Mereka sengaja datang satu keluarga naik mobil. Selain bawa bekal makanan, mereka juga membawa kereta bayi dan sepeda mini. “Anak saya tiga, semuanya ikut. Mau lihat kereta katanya. Tuh mereka,” ujar Kadir sambil menunjuk ke arah seorang wanita dekat kereta bayi sedang menyuapi seorang bocah.

Sementara satu anak mereka hanya duduk di atas sepeda mini yang tidak bisa jalan diatas batu perlintasam kereta. Kadir baru sekali ini datang. Awalnya dia dengar cerita tetangga yang bilang kalau setiap sore disini selalu ramai. “Kebetulan anak saya yang kedua susah disuruh makannya. Kalau di sini sambil lihat kereta, dia mau makan,” papar Kadir.

Semula Kadir tidak menyangka suasana seramai itu, puluhan motor parkir berjejer di dekat pagar, sementara beberapa penjual makanan dan minuman sibuk melayani pembeli yang antri. “Kalau di Rawabuaya ada terapi rel untuk kesehatan, di sini terapi rel buat nafsu makan,” kelakar Kadir.

Setiap sepuluh menit ada kereta melintas, dari arah Bogor menuju Kota atau sebaliknya. Kereta luar kota dengan kecepatan tinggi pun sesekali melintas. Jika jalur kosong, mereka bermain atau sekedar duduk-duduk diatas besi rel kereta.
Jalur ini jarang dilalui kereta
Mereka tidak khawatir atau takut tertabrak kereta, pasalnya, setiap ada kereta yang akan melintas, petugas di stasiun selalu mengumumkannya lewat pengeras suara yang masih terdengar di tempat keramaian itu. “Kalau ada kereta, kita minggir,” ujar Nyoman (29) yang datang bersama anaknya yang berusia 5 tahun.

Rupanya para balita itu senang dengan keramaian di sana, sambil bermain dan melihat kereta, tanpa sadar mulut mereka terus mengunyah makanan. Orang tua mereka tidak perlu merayu agar anaknya membuka mulut dengan suka rela.

Mereka yang datang menikmati sore di sana hanya ‘menguasai’ satu jalur, yakni jalur 6 yang memang jarang dipakai. Jalur itu biasa digunakan untuk langsir atau parkir kereta saja. “Kalau lagi langsir jalanya pelan, kadang berhenti dulu. Anak-anak senengm bisa pegang-pegang kereta,” papar Nyoman yang dapat jatah tiap Sabtu temani anaknya ke sini.

Kemidi Putar
Menurut warga sekitar, awalnya hanya satu dua orang saja yang datang. Mereka membawa  anak untuk disuapi sambil lihat kereta melintas. “Saya juga nggak nyangka, lama-lama jadi rame kayak gini. Mirip pasar kaget. Sekarang ada kemidi putarnya lagi,” ungkap Yanah (44) warga yang tinggal di sisi perlintasan kereta.
Kemidi putar hadir di setiap keramaian

Cerita Yanah didukung Usup (28), penjual es krim keliling. Menurut pria kurus ini, sekitar setengah tahun lalu cuma  sedikit yang datang. “Setiap sore saya lewat sini, tadinya paling cuma satu dua orang aja. Tiap hari terus nambah banyak. Saya sih seneng-seneng aja, dagangan jadi laku banyak,” papar Ucup.

Jika semula yang datang hanya mereka yang ingin memberi makan anaknya, sekarang diantara mereka terselip sejoli yang sedang pacaran, atau bocah-bocah tanggung yang datang tanpa orang tua.

Kerumunan yang hanya berlangsung mulai pukul 15.30 sampai 18.00 Wib itu ternyata menarik minat pengelola kemidi putar. “Sudah dua minggu ada di sini,” kata Sodikin pemilik kemidi putar yang pasang tarip seribu rupiah sekali naik.

Pria  paruh baya ini mengira akan banyak yang naik kemidi putar, tapi perkiraan meleset. “Banyak anak kecilnya, pada ndak berani naik kemidi putar, wah jadi rugi nih, ongkos bawa kemidinya gak balik,” ungkap Sodikin yang berencana pindah lokasi.

Mereka senang lihat kereta dari dekat 
Seharusnya, antara lahan kosong dan jalur kereta itu dibatasi pagar besi, namun pagar besinya sudah ‘dijarah’ orang. Jika pihak stasiun membangun lagi pagar besi, atau mungkin pagar beton, mereka yang ingin ‘terapi nafsu makan anak’ harus cari lokasi lain. Kalau itu sampai terjadi, mungkin mereka cuma bilang,  “memang susah cari hiburan gratis di Jakarta”.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar