Halaman

Kamis, 28 Juli 2011

Nazaruddin Jual Celengan Sampai Celeng


Nazaruddin yang satu ini bukan buronan KPK, dia hanya orang yang mengais rejeki sebagai penjual celengan. Dia gelar dagangan di trotoar jalan, dia tidur dan makan di trotoar itu juga bersama Asep, putra sulungnya.

Namanya memang sama dengan mantan bendahara Partai Demokrat, tapi nasib mereka berdua ibarat bumi dan langit. Nazaruddin ini berasal dari Purwakarta, tepatnya Plered, kawasan para perajin guci dari keramik. Pria berusia 40 tahun ini profesinya sebagai penjual tempat menabung uang alias celengan terbuat dari tanah liat.

Sudah lebih 15 tahun pedagang yang biasa disapa Udin ini melakoni profesinya. Baru dua tahun lalu dia melibatkan Asep (15) putra sulungnya sebagai asisten. “Buat bantu-bantu bawa dagangan. Itung-itung sambil belajar. Kalau sudah bisa, biar dagang sendiri saja,” ujar Udin pasrah jika sang anak ingin ikut jejaknya.

Udin tertarik menjadi penjual celengan karena hampir semua tetangganya di kampung  melakoni hal serupa. “Ada yang kerja  di pabrik keramik, pabrik celengan, ada Bandar celengan, ada juga yang dagang gini kayak saya,” ujarnya sambil menikmati makan siang nasi bungkus bersama Asep.

Sudah setahun ini Udin mangkal di sisi Jalan Bangunan Timur, Kayu Putih, Jakarta Timur. Dia boyong sekitar 200 buah celengan berbentuk ayam, maca, kelinci, kucing, gajah dan bentuk lainnya dari Purwakarta. “Ada beberapa pedagang patungan sewa mobil bak dari Purwakarta,” ujar Udin.

Ratusan celangan itu digelar semua di trotoar sehingga menyajikan pemandangan warna-warni yang menarik. “Yang beli macem-macem. Ada yang dipake buat nabung, ada juga yang buat pajangan. Orang-orang kaya yang pake mobil banyak juga yang suka. Kalo beli suka banyak,” cerita Udin yang mematok harga antara  Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribb ini.

Udin dan anaknya hanya mengandalkan trotoar saja, tanpa meja apalagi tenda. “Kalau panas sih udah biasa, pake topi juga udah adem. Tapi kalo hujan kita lari ke situ buat neduh. Dagagannya ditutup plastik,” papar Udin sambil menunjuk tempat kios tambal ban diseberang jalan.

Usahanya ini buka 24 jam karena Udin dan Asep tidur bersama celengan di trotoar itu. “Sering juga, malem-malem lagi tidur ada yang beli. Namanya rejeki yang jangan ditolak,” ungkap ayah dari 4 anak yang sudah siap dengan jaket dan kain sarung untuk mengusir dingin malam.

Tubuh Udin yang kurus sering masuk angin lantaran selalu tidur di tempat terbuka. Kalau sudah merasa kondisi badannya kurang nyaman, dia segera minum obat anti masuk angin di warung. “Biasanya langsung seger lagi tuh,” paparnya.

Mengandalkan trotoar
Udin berkisah, di bulan-bulan pertama dagang di trotoar dirinya pernah mendapat musibah. Mungkin karena terlalu lelah dan kondisi badannya sedang tidak fit, Udin terserang demam tinggi dan menggigil di trotoar ditemani puluhan celengan.

“Waduh, saya nggak kuat. Sampe celeng (sakit) kayak gitu, badan menggigil. Waktu itu udah mau subuh, mau hujan lagi. Untung ada sopir bajaj yang mau antar saya ke klinik,” kisah Udin yang mengaku sehat lagi setelah minum obat.

Tidak Tetap
Udin dan Asep tidak selalu gelar dagangannya di sana, mereka punya dua titik lagi tempat usaha, di Bintaro Sektor X dan di Bekasi. Setiap bulan dia berpindah-pindah. “Sekali bawa 200 biji, seminggu habis. Saya pulang, istirahat dua hari, terus dagang lagi. Tempat pindah, sekarang di sini, minggu depan di Bintaro, terusnya di Bekasi,” ujarnya.

Meskipun merasa berat dan lelah melakoni usahanya ini, namun Udin tidak punya pilihan lain.  “Mungkin memang disini rejeki saya, sejak menikah sampai sekarang, semuanya dibiayai dari sini. Yang penting anak-anak bisa sekolah walaupun tamat SMP kayak si Asep ini,” tuturnya.

Sebenarnya Udin ingin ‘pensiun’ dan memilih menjadi pengepul celengan saja, tapi itu masih jadi angan-angan. “Modalnya gede banget kalo mau jadi ‘bandar’nya. Mau nabung gak pernah bisa, uangnya  habis terus buat biaya hidup,” papar Udin yang seminggu bisa dapat sekitar  Rp 200 ribu.
Bersaing dengan celengan kaleng dan plastik 

Semula Udin tidak mengerti mengapa celengan tanah liat masih diminati, sementara celengan dari kaleng dan plastik dengan harga lebih murah banyak dijual orang. Lalu dia tanya kepada beberapa konsumennya.

Menurutnya, orang beli celengan keramik untuk mengenang masa kecil dan sambil mengajarkan kebiasan menabung kepada anak-anaknya. Pernah suatu ketika ada seorang wanita paruh baya memborong 20 celengan. “Katanya mau dibagi-bagi ke anak cucunya biar semuanya menabung,” ujar Udin.

Asep yang masih sangat belia mengaku tidak keberatan membantu sang ayah mencari nafkah. Karena kondisi keluarga yang kurang beruntung, Asep harus merelakan masa remaja diisi kerja keras. “Kalau udah bisa jalan sendiri, saya mau pisah, dagang ditempat lain,” papar Asep.

Jika dagangannya tersisa beberapa buah, Udin dan Asep berkeliling perumahan memikul gajah, ayam dan kelinci tanah liat berharap ada yang berminat.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

‘Terapi Rel’ Dongkrak Selera Makan Anak



Jika di Stasiun Rawabuaya, banyak orang datang untuk terapi kesehatan, di Stasiun Manggarai, tiap sore didatangi puluhan pasutri muda mengajak balitanya agar mau makan.

Setiap sore, puluhan pasangan muda duduk-duduk di atas rel kereta di sisi selatan Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Sang suami sibuk menjaga balitanya berjalan di atas batu-batu kecil, sementara si istri menyuapi anaknya. “Kalau nggak diajak ke sini, susah makannya,” ungkap Lara (31), yang tinggal 10 km dari stasiun.

Alasan ibu muda  yang selalu datang bersama suami dan anaknya yang berusia 4,5 tahun ini  nyaris sama dengan alasan pasutri lain, agar anak-anak balitanya mau makan. Tengok saja barang bawaan mereka, hampir semuanya membawa tempat makan untuk anaknya.
Bermain sambil makan

Selain balita, banyak juga bocah bermain di atas jalur kereta yang jika sore jarang dilintasi kereta. “Kalau jalur ini jarang dipake, paling untuk langsir doang,” ujar Sidik (36) yang datang menemani Andi (7), putra sulungnya.

Menurut Sidik, putranya suka lihat kereta. Agar tidak penasaran, suatu ketika ia ajak anaknya itu ke sini. “Waduh, dia seneng banget. Eh, sekarang malah ketagihan, setiap sore minta ke sini terus,” paparnya.

Pasangan Yanti (31) dan Kadir (36) lebih heboh lagi. Mereka sengaja datang satu keluarga naik mobil. Selain bawa bekal makanan, mereka juga membawa kereta bayi dan sepeda mini. “Anak saya tiga, semuanya ikut. Mau lihat kereta katanya. Tuh mereka,” ujar Kadir sambil menunjuk ke arah seorang wanita dekat kereta bayi sedang menyuapi seorang bocah.

Sementara satu anak mereka hanya duduk di atas sepeda mini yang tidak bisa jalan diatas batu perlintasam kereta. Kadir baru sekali ini datang. Awalnya dia dengar cerita tetangga yang bilang kalau setiap sore disini selalu ramai. “Kebetulan anak saya yang kedua susah disuruh makannya. Kalau di sini sambil lihat kereta, dia mau makan,” papar Kadir.

Semula Kadir tidak menyangka suasana seramai itu, puluhan motor parkir berjejer di dekat pagar, sementara beberapa penjual makanan dan minuman sibuk melayani pembeli yang antri. “Kalau di Rawabuaya ada terapi rel untuk kesehatan, di sini terapi rel buat nafsu makan,” kelakar Kadir.

Setiap sepuluh menit ada kereta melintas, dari arah Bogor menuju Kota atau sebaliknya. Kereta luar kota dengan kecepatan tinggi pun sesekali melintas. Jika jalur kosong, mereka bermain atau sekedar duduk-duduk diatas besi rel kereta.
Jalur ini jarang dilalui kereta
Mereka tidak khawatir atau takut tertabrak kereta, pasalnya, setiap ada kereta yang akan melintas, petugas di stasiun selalu mengumumkannya lewat pengeras suara yang masih terdengar di tempat keramaian itu. “Kalau ada kereta, kita minggir,” ujar Nyoman (29) yang datang bersama anaknya yang berusia 5 tahun.

Rupanya para balita itu senang dengan keramaian di sana, sambil bermain dan melihat kereta, tanpa sadar mulut mereka terus mengunyah makanan. Orang tua mereka tidak perlu merayu agar anaknya membuka mulut dengan suka rela.

Mereka yang datang menikmati sore di sana hanya ‘menguasai’ satu jalur, yakni jalur 6 yang memang jarang dipakai. Jalur itu biasa digunakan untuk langsir atau parkir kereta saja. “Kalau lagi langsir jalanya pelan, kadang berhenti dulu. Anak-anak senengm bisa pegang-pegang kereta,” papar Nyoman yang dapat jatah tiap Sabtu temani anaknya ke sini.

Kemidi Putar
Menurut warga sekitar, awalnya hanya satu dua orang saja yang datang. Mereka membawa  anak untuk disuapi sambil lihat kereta melintas. “Saya juga nggak nyangka, lama-lama jadi rame kayak gini. Mirip pasar kaget. Sekarang ada kemidi putarnya lagi,” ungkap Yanah (44) warga yang tinggal di sisi perlintasan kereta.
Kemidi putar hadir di setiap keramaian

Cerita Yanah didukung Usup (28), penjual es krim keliling. Menurut pria kurus ini, sekitar setengah tahun lalu cuma  sedikit yang datang. “Setiap sore saya lewat sini, tadinya paling cuma satu dua orang aja. Tiap hari terus nambah banyak. Saya sih seneng-seneng aja, dagangan jadi laku banyak,” papar Ucup.

Jika semula yang datang hanya mereka yang ingin memberi makan anaknya, sekarang diantara mereka terselip sejoli yang sedang pacaran, atau bocah-bocah tanggung yang datang tanpa orang tua.

Kerumunan yang hanya berlangsung mulai pukul 15.30 sampai 18.00 Wib itu ternyata menarik minat pengelola kemidi putar. “Sudah dua minggu ada di sini,” kata Sodikin pemilik kemidi putar yang pasang tarip seribu rupiah sekali naik.

Pria  paruh baya ini mengira akan banyak yang naik kemidi putar, tapi perkiraan meleset. “Banyak anak kecilnya, pada ndak berani naik kemidi putar, wah jadi rugi nih, ongkos bawa kemidinya gak balik,” ungkap Sodikin yang berencana pindah lokasi.

Mereka senang lihat kereta dari dekat 
Seharusnya, antara lahan kosong dan jalur kereta itu dibatasi pagar besi, namun pagar besinya sudah ‘dijarah’ orang. Jika pihak stasiun membangun lagi pagar besi, atau mungkin pagar beton, mereka yang ingin ‘terapi nafsu makan anak’ harus cari lokasi lain. Kalau itu sampai terjadi, mungkin mereka cuma bilang,  “memang susah cari hiburan gratis di Jakarta”.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Minggu, 10 Juli 2011

Disinilah! Hypermart Loakan Jakarta

Jika ‘PI’ alias Plaza Indonesia dianggap pusat niaga berkelas, di Jatinegara Timur ada ‘JI’ alias Jembatan Item, pasar loak terbesar di Jakarta. Ratusan pedagang menggelar ‘koleksi’nya. Mulai jimat batu akik sampai Blackberry Onyx.


Sekitar lima tahun lalu, pedagang barang-barang bekas, biasa disebut barang loakan, yang mangkal di sekitar Lapangan Jenderal Urip Sumohardjo, Jalan Matraman Raya digusur. Sebagian besar mereka pindah ke kawasan Jembatan Item yang memang sudah ‘dikuasai’ belasan ‘pengusaha’ sejenis.


‘Migrasi’nya lebih dari seratus pedagang loakan itu disambut baik warga sekitar. “Tadinya di sini sepi. Sekarang jadi rame,” cerita Kurnain alias Bang Nain yang tidak lagi nganggur setelah dijatah lahan parkir seluar 20 meter persegi.


Bersama Cecep (65), sang paman, Bang Nain aplusan jadi jukir. Hari biasa mereka bisa dapat minimal Rp 30 ribu, Sabtu dan Minggu bisa tembus Rp 100 ribu. “Lumayan lah, gara-gara banyak yang datang ke sini, orang kampung sini jadi ketiban rejeki,” papar Cecep yang nyambi jualan rokok dan minuman ringan.


Para pedagang loakan itu memenuhi sekitar Jembatan Item, halaman Masjid Nurul Islam hingga masuk ke Gang Kohen. Sebagian lagi berjejer ke arah mulut Jalan Jatinegara 1, Jakarta Timur.


Di hari biasa pasar loak ini cukup ramai, namun Sabtu – Minggu dan hari libur, terkadang pengunjungnya sampai berdesakan. “Apalgi pas tanggal muda, wah parkiran sampai penuh,” ungkap Bang Nain.


Usaha mereka menempati lapak-lapak kecil di sisi jalan dan sisi kali. Namun lebih banyak yang hanya gelar dagangan diatas plastik bekas spanduk atau terpal. “Kita sewa tempat. Kalau gelaran kayak gitu repot harus bongkar pasang. Dagangan kita banyak,” ujar Mulyadi (38), anak pensiunan kolonel yang ‘terdampar’ di 


Jembatan Item.
Mulyadi tidak mau jual stik golf kepada anak sekolah
Mulyadi menempati lapak ukuran 2 x 2 meter bersama Iwan, rekannya. Mereka menjual beragam barang bekas, mulai jam tangan, ponsel, lukisan, alat cetak kue, sampai stik golf. “Apa aja kita jual deh, soal harga bisa nego sampai mentok,” kelakar Mulyadi yang harus menafkahi istri dan tiga anak dari lapak loakan itu.


Selain membeli barang bekas dari orang yang datang, Mulyadi juga sering ‘hunting’ ke beberapa perumahan elit. “Biasanya ada saja barang bekas yang dijual satpam, sopir atau babu (pembantu rumah tangga). 
Ketimbang dibuang majikannya, lebih baik dikumpulin, terus dijual ke saya,” ungkapnya.


Tidak ada patokan harga jika transaksi di sana. Satu jenis barang bisa tinggi harganya atau bahkan diobral murah sangat tergantung dari tawar menawar. Bocorannya, jika ingin dapat harga murah, bersikaplah seperti tidak butuh barang itu. “Alhamdulilah, paling dikit sehari bisa dapet Rp 50 ribu,” cerita Mulyadi.


Mulyadi sering menolak pelajar yang ingin membeli  stik golf. Dia kuatir barang itu digunakan untuk tawuran. “Saya inget anak saya yang STM. Jangan-jangan dia beli di sini, korbannya anak saya sendiri,” ujarnya.
Ada kabar miring yang menyebut, kawasan ini menjadi tempat copet dan maling ‘buang’ hasil kejahatannya. “Wah kalo soal itu sih tergantung masing-masing orang, mau jadi penadah pasti ada resikonya,” ungkap Mulyadi.
Barang dagangannya digelar hingga ke jalan.
Jika disimak, memang ada perbedaan. Pedagang loakan hampir 90 persen daganganya dalam kondisi rusak, sementara belasan pedagang ponsel jual ponsel bekas yang masih bisa digunakan. Mereka buka lapak dengan gelar terpal di sisi jalan atau pakai meja kecil.


Buyung, satu diantaranya tidak menampik kemungkinan barang yang dia beli kemudian dijualnya lagi itu hasil kejahatan. “Biasanya mereka jual batangan (tanpa kardus dan charger). Prinsip saya dia jual karena butuh uang. Saya tidak mau tahu itu barang dari mana asalnya,” ujar Buyung yang menjual Blackberry Onyx dengan harga miring.


Jembatan Item, Jalan Poncol, Senen dan Pasar Rumput, Manggarai memang menjadi bursa barang bekas di Jakarta. Jika beruntung, kita dapat barang atau spare part yang langka dengan harga murah.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Pasar Gembrong Gudangnya Mainan Cina

Ingin cari mainan anak murah tapi berkelas? Datang saja ke Pasar Gembrong. Di sana tersedia beragam mainan, mulai harga seribuan sampai ratusan ribu. Hampir semua barang di sana impor dari China.
Pasar Gembrong di kawasan Prumpung mudah ditemui, posisinya dipertigaan Jalan Achmad Yani dan Jalan Jenderal Basuki Rahmat. Sebenarnya lokasi itu tidak layak disebut pasar karena hanya berupa deretan kios-kios semi permanen di sisi jalan.
Awalnya lokasi itu merupakan pasar tradisional. Sekitar tahun 1960-an pasar itu dihuni pedagang sayuran, ikan dan dagangan lain layaknya pasar tradisional di Jakarta. Tahun 1998, tepatnya setelah kerusuhan Mei, beberapa warga sekitar dan pedagang sayur membangun kios semi permanent. Mereka menjual mainan anak dan alat tulis keperluan sekolah. Pionirnya adalah H. Bahruddin yang membuka kios di teras rumahnya.
Seiring  perjalanan waktu, banyak yang ikut berdagang hingga melayani partai besar alias grosiran. Jumlah kios terus bertambah hingga melebihi lahan, sehingga trotoar jalanpun habis dihuni pedagang.
Diantara jejeran kios hanya tersisa jalan kecil sehingga pembeli terpaksa bersenggolan jika melintas, karena itu ada juga yang menyebut Pasar Senggol. Selama hampir 13 tahun bertahan, kini tempat  itu menjadi ikon belanja mainan murah di Jakarta selain Tanah Abang dan Asemka.
Harganya yang miring ternyata membuat Pasar Gembrong kesohor sampai ke luar Jakarta, tidak sedikit pedagang mainan dari beberapa kota seperti Bogor, Bandung bahkan Cirebon singgah untuk melengkapi koleksi dagangan mereka.
Lebih dari 80 persen mainan di sini berasal dari China, sisanya produk lokal. Setelah perdagangan bebas ASEAN dan China (ACFTA) diberlakukan mainan anak dari China membanjir. Dampaknya, harga jualnya semakin murah.
Menurut Ramli (45), seorang pedagang, produk China semakin meningkat, bahkan hampir seluruh barang dagangannya berasal dari China.  “Karena belinya murah, saya jualnya lebih murah dari sebelumnya. Tapi ada juga mainan tertentu yang harganya tidak jauh beda di tempat lain,” papar Ramli.

Menurutnya harga mobil remote control menurun hingga 10 persen dari yang tadinya mencapai rata-rata Rp 100 ribu, sekarang turun sampai Rp 70 ribu. Jika beli grosiran, harganya bisa lebih murah lagi.
Konon para pedagang membeli secara grosir dari tangan ke dua, bahkan ke tiga, bukan langsung dari importir. Jika mereka mendapat dagangan langsung dari importir, tentunya harga jualnya bisa lebih murah lagi.
Kenyataan itulah yang membuat Pasar Gembrong hampir setiap hari dipadati pembeli dari semua lapisan masyakarat. Kalangan menengah bawah senang bisa membeli barang bagus dengan harga murah. Sementara mereka yang biasa ke mal, tentunya bisa berhemat jika membawa anak-anaknya ke sini.
Di pasar ini dijual mainan anak mulai dari mobil-mobilan, boneka barbie dan segala pernak-perniknya Murahnya harga membuat pasar ini selalu dipenuhi pembeli, terutama hari Sabtu, Minggu dan liburan.
Rina (38), hampir setiap bulan singgah di pasar ini. Ada saja mainan yang diminta putra bungsunya yang baru kelas dua SD. Menurut Rina, dia bisa mendapatkan mainan dengan harga nyaris separuhnya dibanding mainan serupa yang ada di mal. Sementara Rafiudin (41) yang buka toko mainan di rumahnya di Bekasi mengaku lebih suka belanja dagangan ke pasar ini, selain harga murah, lokasinya juga dekat.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Juragan Bambu Di Sisi Ciliwung

Bursa bambu di Jalan Manggarai Utara 2, Jakarta Selatan sudah eksis sejak 1960-an. Kini konsumennya semakin berkurang. Posisi bambu sudah diganti kayu dan besi.
Ada enam pedagang bambu masih bertahan di kawasan sisi Sungai Ciliwung itu. H. Hasbih, Juragan Bambu paling senior di sana. Hampir seluruh hidupnya berkutat dengan bisnis bambu. “Saya dagang bambu di sini sekitar tahun 70-an. sebelumnya cuma bantuin saudara saya yang dagang duluan,” kenang pria berusia 80 tahun ini.
Sekitar tahun 1960 sampai pertengahan 1980, para pedagang bambu dari Cilebut dan Bojong Gede, Bogor membawa bambu yang dibentuk seperti rakit melalui Sungai Ciliwung ke Manggarai. Orang biasanya menyebut kawasan itu Pangkalan Bambu.
Menurut Hasbih, waktu itu masih banyak pohon bambu di Bogor dan Sungai Ciliwung masih lebar. “Sekarang pohon bambunya habis, udah banyak perumahan di sana. Ciliwung-nya udah sempit, airnya juga dangkal,” ujar kakek dari 27 cucu ini.
Selain dari wilayah Bogor, kini bambu-bambu itu dikirim dari Sukabumi menggunakan truk. Jika stok bambu sudah menipis, atau ada order besar, mereka pesan bambu via telepon. Tidak sampai dua hari kiriman datang.
Awalnya ada sekitar 20 pedagang bambu di sana, karena peminat makin berkurang, sebagian besar gulung tikar atau ganti usaha lain. Hasbih masih bertahan karena dia punya prinsip, bambu masih tetap dibutuhkan. “Bambu itu banyak gunanya, bukan cuma jadi tiang doang,” ujarnya.
Memang banyak jenis bambu, namun hanya beberapa jenis saja yang dijualnya, seperti Bambu Andong, Bambu Betung, Bambu Tali dan Bambu Hitam. Bambu Andong  dan Betung biasanya digunakan untuk tiang, Bambu Tali dipakai untuk anyaman dan bilik, sedangkan Bambu Hitam cocok dibuat meja kursi.
Seperti pedagang lain, Hasbih menggunakan bantaran kali sebagai lapak. Ada tumpukan bambu setinggi 5 meter di lahan seluas 8 x 12 meter. Sementara  di teras sebuah bangunan semi permanen tempat tinggalnya ada beragam barang dagangan terbuat dari bambu, seperti obor, bilik, jaro, krey dan satu set meja kursi dari bambu.
Hasil kerajinan dari bambu itu tidak diproduksi sendiri, tetapi kiriman dari Bogor. “Banyak yang nitip dagangan di sini, nanti kalo udah laku baru saya bayar. Kalo gak laku-laku yang dibiarin aja sampe rusak dimakan rayap,” papar ayah dari 12 anak ini.
Delapan tahun belakangan ini peminat bambu semakin sedikit. Mungkin posisi bambu sudah digantikan dengan bahan bangunan lain seperti kayu atau besi. Jika sedang beruntung, dalam satu  hari Hasbih bisa menjual bambu dalam jumlah besar. “Kalo lagi sepi, seharian juga gak ada yang beli,” kisahnya.
Harga bambu dikisaran Rp. 4000,- sampai Rp. 9.000,- perbatang.  Biasanya pembeli partai besar untuk steger di proyek-proyek besar atau untuk tiang bendera dan umbul-umbul jika ada partai atau ormas sedang ada acara. Selebihnya mereka yang membeli perbatang untuk keperluan tertentu.
Ketika banjir musiman tahun 2005 lalu, kawasan itu ‘lenyap’. Air Cilwung meluap hingga atap rumah. “Semua dagangan saya hanyut. Ya, namanya musibah. Ini resiko tinggal di pinggir Ciliwung,” ungkap Hasbih yang rugi belasan juta karena banjir.
Sebelumnya pria sepuh yang masih memiliki semangat tinggi ini tinggal bersama keluarga di lapaknya. Setelah anak-anaknya berumah tangga, dia tinggal bersama istri dan putra bungsu yang membantunya menjalankan bisnis bambu menggantikan sang ayah menjadi juragan bambu.*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Kaki Lima Bisnis Emas Batangan

Tempat usahanya di trotoar. Alatnya cuma timbangan, batu LM dan air raksa. Pelanggannya, mereka yang mau jual emas, mulai cincin bayi sampai emas batangan.


Sekitar pukul 9 pagi, Agus (49), baru saja memajang lemari timbangan diatas meja kecil persis di sebelah pintu masuk Kantor Pegadaian Jatinegara, Jakarta Timur itu menerima  telepon dari ‘orang dalam’ pegadaian.


Selang beberapa menit, seorang perempuan paruh baya keluar dari pegadaian. Dengan sigap Agus bangkit dari kursi plastiknya, pasang senyum ringan, kemudian menghampiri wanita yang tampak bingung itu. “Ada yang bisa saya bantu Bu?” sapa Agus ramah.


“Saya mau nebus kalung, tapi gak punya uang, kalung saya mau dilelang kalau gak ditebus hari ini,” cerita perempuan itu.   


Agus menawarkan jasa dirinya bisa menebus kalung seberat 5 gram itu dengan catatan perempuan itu harus menjual kalung tersebut kepadanya. Selisih uang setelah dipotong harga jual dan nilai tebusan menjadi milik perempuan itu.


Ketimbang kalungnya lenyap di meja lelang, perempuan itu setuju. Kemudian mereka sama-sama menebus kalung di pegadaian. Meskipun tetap ‘kehilangan’ kalung emasnya, namun perempuan itu masih punya uang selisih sesuai kesepakatan.


“Prinsipnya, sama-sama untung. Gak ada yang dirugikan,” ujar Agus yang sudah lebih dari 25 tahun menjalani profesi jual beli emas kaki lima. Di sekitar Kantor pegadaian itu sediktinya ada 12 ‘pengusaha’ serupa. “Saya paling senior,” ucap Agus bangga.


Di kalangan mereka, cara transaksi yang tadi dilakukannya tersebut disebut ‘beli surat gadai’. Banyak nasabah yang harus kehilangan emasnya di mejal lelang karena tidak mampu menebus. “Apalagi sekarang, harga emas lagi bagus, sayang kalau sampai dilelang,” papar ayah 3 anak dan kakek 4 cucu ini.


Agus mengaku sering dapat informasi dari ‘orang dalam’ pegadaian jika ada nasabah yang mengalami kesulitan dana. “Dia telepon atau sms. Dia sebutin ciri-ciri dan pakaiannya. Pas orang itu keluar, saya tawarkan jasa,” ungkapnya.


Tapi, tidak semuanya berjalan mulus, karena tidak semuanya tertarik. Bahkan  Agus sering dicuekin bahkan dimarahi. “Mungkin dia lagi mumet, terus saya rayu-rayu suruh jual emasnya. Dia malah marah-marah. Siapa yang mau jual, sembarang kamu ya!” ujar Agus menirukan makian itu.


Selain beli surat gadai, Agus lebih sering melayani orang yang menjual emasnya. Biasanya mereka jual ke sini karena tidak memiliki surat dari toko tempatnya membeli. “Mungkin suratnya hilang. Emas yang nggak pakai surat suka ditolak di toko, kalau pun diterima, harganya jatuh,” paparnya.


Meskipun tahu, mereka yang jual emas karena butuh uang, namun Agus pantang memanfaatkan situasi. “Saya pakai patokan harga standar. Yang penting masih ada lebihnya buat saya,” kata Agus.


Jika ada pemulung atau orang yang jual emas dari hasil ‘nemu’ di jalan, Agus suka menawar ‘seenak’nya. “Kelihatan dari barangnya, udah kotor, penyok-penyok. Yang jual juga dekil,” kelakar Agus.

Emas Batangan
Agar tidak dituduh sebagai penadah, Agus mengaku sangat cermat menyeleksi orang yang mau jual emasnya. “Kalau tampang serem, mau jual emas dalam jumlah besar, pasti saya tolak. Bilang aja baru ‘angkat barang’, modalnya habis,” cerita agus.




Menurutnya, sulit juga menilai orang hanya dari penampilannya saja. Terbukti beberapa bulan lalu, temannya sempat berurusan dengan polisi gara-gara beli emas dari seorang remaja keturunan Cina. “Dia ngaku disuruh ibunya jual emas buat bayar sekolah,” ungkap Agus.

Dua hari kemudian polisi membawa temannya itu untuk diperiksa sebagai saksi. Ternyata emas itu hasil curian. “Anak itu nyolong emas ibunya, terus dijual buat foya-foya. Untung barangnya belum dilebur, jadi kasusnya bisa kelar. Temen saya cuma jadi saksi aja,” terang Agus yang juga sering beli emas batangan.


Sebagai ‘pengusaha kaki lima’, modal Agus sangat terbatas. Dia hanya mampu membeli emas paling banyak sehari 5 sampai 10 gram. Kemudian emas itu dijual kembali kepada pengepul emas yang disapa ‘Bos’. “Sama si bos, emasnya dilebur lagi,” papar Agus.


Jika ada yang ingin jual emas diatas 10 gram atau emas batangan, Agus segera mengontak bosnya. Sebelum nge-deal harga, dia mengecek dulu keaslian dan kadar emasnya. Pertama emas digesekan ke batu LM, batu khusus untuk mengetes kadar emas. Kemudian diolesi air raksa emas, dan air raksa koneng.


“Kalau emas, bekas gesekannya nggak hilang setelah dikasih air raksa. Tapi kalu bukan emas langsung hilang. Kalau perak, bekas gesekanya berubah putih  seperti santen. Nah, kalau harga udah cocok, nanti bos saya yang beli, saya cuma ambil komisinya aja, upah gesek-gesek,” terang Agus.


Agus yang mewarisi usaha kakeknya ini belajar mengenal kadar emas secara otodidak. Dia pernah membeli cincin yang ternyata hanya dilapis emas. “Waktu saya gesek memang emas asli, eh pas mau dilebur ternyata dalamnya perak,” ungkap Agus yang nombok sampai Rp900 ribu. Angka cukup tinggi sepuluh tahun silam.


Agar tidak tertipu lagi, jika merasa curiga, Agus minta persetujuan untuk memotong perhiasan itu setelah deal harga. “Nih, saya sudah siapkan tang pemotongnya,” paparnya.


Uang Longok
Sambil membersihkan timbangan tua warisan kakeknya, Agus mengucap syukur bisa menghidupi keluarga hingga sekarang. “Tanggung jawab saya tinggal satu, nyekolahin anak bungsu saya yang masih kelas 3 SMP. Kakak-kakanya udah pada kawin, semuanya dibiayai dari usaha ini,” paparnya.


Meskipun tidak ada kepastian, namun Agus mengaku ikhlas menjalani usahanya itu. Dalam sebulan bisa 3 sampai 4 kali nihil tidak ada transaksi. “Dapetnya nggak pasti, kalau dirata-rata, sehari bisa ngantongi lima puluh ribu,” ungkapnya.


Ada kebiasaan unik di kalangan mereka. Jika diantara mereka kebetulan nihil, teman yang dapat rejeki wajib memberinya Rp5000. “Misalnya saya baru dapat barang, temen saya lagi apes. Biasanya dia datang ke saya, nah saya harus kasih goceng tuh. Namanya ‘uang longok’. Begitu juga kalao saya lagi nihil,” terang Agus.


Pria bersahaja yang tinggal di Kampung Pulo, Jatinegera, tidak jauh dari tempatnya usaha itu mengaku merasa tertolong dengan adanya handphone. “Dulu kalau ada yang mau jual, saya harus jalan ke pasar cari-cari bos. Orangnya pindah-pindah, sekarang nongkrong di Jatinegara, besok di Kramat Jati. Sekarang tinggal telepon aje,” kata Agus sambil memamerkan Nokia pisangnya.


Selain sebagai lahan cari nafkah, pria kelahiran Jakarta ini merasa juga melakukan ibdah dengan membantu orang yang kesulitan uang. Dan Agus merasa sebagai orang paling ramah sedunia. “Setiap yang lewat saya sapa dengan senyum sambil bilang... mau jual emas...”*
http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png

Minggu, 03 Juli 2011

Tunggangi ‘Luna Maya’ Cuma Bayar Ceban

Setiap minggu pagi, puluhan kuda tunggang ‘parkir’ di depan gedung arena Pacuan Kuda Pulomas. Diantara kuda-kuda sewaan itu terdapat belasan ‘veteran’ kuda pacu, salah satunya bernama Luna Maya.

Sunday Market alias pasar kaget di kawasan Pacuan Kuda Pulomas, Jakarta  Timur sudah berlangsung lama. Seratus lebih pedagang berbaur dengan pengunjung yang ingin berolahraga, cuci mata, atau ingin cari hiburan bersama keluarga.

Sejak pagi hingga siang, para pedagang berjejer di sisi jalan menawarkan beragam dagangan. Mulai dari pakaian, makanan, minuman, tas, sepatu, minyak wangi, aksesoris telepon genggam hingga pernak-pernik unik.

Jajanan kuliner pun lumayan lengkap, ada tukang es cendol, es cincau dan burger. Mereka yang ingin sarapan pagi bisa pilih menu nasi uduk, bubur ayam, ketoprak, aneka soto dan lontong sayur.

Para pedagang mulai membuka lapaknya dari pukul 05.00 WIB sampai 12.00 WIB. Namun, ada juga yang sudah menutup dagangannya lebih cepat. Mereka yang berdagang di sana biasanya menggunakan mobil pribadinya untuk memajang barang dagangannya.

Dian (32),  warga Utan Kayu, Jakarta Timur  mengaku sudah lebih dari empat bulan berdagang pakaian di tempat ini. Pukul tiga subuh dia sudah di lokasi mempersiapkan daganganya yang dipajang di mobil Toyota Avanzanya.

Suasana beda tersaji di halaman depan Gedung Pacuan Kuda. Areal parkir  luas yang sehari-harinya dipakai untuk latihan mengemudi mobil itu menjadi tempat ‘parkir’ puluhan kuda tunggang dan delman.

Kusir delman berhiasan warna-warni itu mematok harga Rp20 ribu untuk keliling kawasan Pulomas. Daya angkutnya cukup banyak, bisa membawa 7 penumpang. Jamil (29), mengaku sudah tiga tahun setiap hari minggu mangkal di sana. Di hari biasa, Jamil ‘narik’ delman di sekitar pemukiman penduduk.

“Di sini ramenya minggu doang. Hari biasa saya pindah-pindah mangkalnya. Lihat-lihat tempat yang rame, banyak anak-anaknya,” ujar Jamil yang mematok harga seribu rupiah perorang untuk naik delman di jalan sekitar pemukiman penduduk.

Kuda dan delman itu milik tetangganya di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Jamil harus kejar setoran sebelum mengantongi keuntungan. “Kalo hari biasa setorannya enam puluh ribu. Hari minggu seratus ribu,” papar Jamil yang bisa bawa pulang hingga Rp200 ribu setiap hari minggu.

Pengunjung yang ingin menikmati sensasi kuda tunggang, bisa langsung sewa. Ukuran kudanya beragam. Ada yang kecil, sedang dan besar. “Kuda yang besar-besar itu bekas kuda pacuan. Karena umurnya sudah tua dan nggak kuat lari kencang lagi, dia ‘dibuang’ kesini,” ujar Jhon (20), pemandu kuda tunggang.

Kuda Sion, namanya Luna Maya, ukurannya sedang, usianya sudah lima tahun. “Ini kuda Sumbawa, karena namanya Luna Maya dan ini betina, banyak yang tertarik ingin naik. Kudanya nggak besar, jadi orang nggak takut,” promosi Jhon, perantauan Manado ini.

Seperti pemandu lainnya, Jhon pasang tarif Rp10.000,- untuk satu kali putaran. Penyewa yang sudah bisa naik kuda tidak perlu dipandu lagi. Sementara bagi pemula, Jhon akan mendampingi sambil pegang tali kendali. “Murah kan, bayar ceban (Rp10.000,-) bisa tunggangi Luna Maya,” kelakarnya.

Hidup kuda tunggang mantan kuda pacu itu sudah diserahkan kepada pelatih yang menetap di kawasan arena pacuan. Untuk membeli pakan hewan itu, pelatih bagi hasil dengan para pemandu dari hasil sewa kuda.

“Pemilik kudanya udah gak peduli lagi, ketimbang mati kelaparan, ya, disewakan saja, lumayan, saya dapat uang, pelatih dapat bagian, kudanya juga dapat makan,” terang pria bertubuh kecil yang sedang latihan menjadi joki kuda pacu ini.*

http://www.iconspedia.com/uploads/12789365491822702177.png