Halaman

Minggu, 10 Juli 2011

Juragan Bambu Di Sisi Ciliwung

Bursa bambu di Jalan Manggarai Utara 2, Jakarta Selatan sudah eksis sejak 1960-an. Kini konsumennya semakin berkurang. Posisi bambu sudah diganti kayu dan besi.
Ada enam pedagang bambu masih bertahan di kawasan sisi Sungai Ciliwung itu. H. Hasbih, Juragan Bambu paling senior di sana. Hampir seluruh hidupnya berkutat dengan bisnis bambu. “Saya dagang bambu di sini sekitar tahun 70-an. sebelumnya cuma bantuin saudara saya yang dagang duluan,” kenang pria berusia 80 tahun ini.
Sekitar tahun 1960 sampai pertengahan 1980, para pedagang bambu dari Cilebut dan Bojong Gede, Bogor membawa bambu yang dibentuk seperti rakit melalui Sungai Ciliwung ke Manggarai. Orang biasanya menyebut kawasan itu Pangkalan Bambu.
Menurut Hasbih, waktu itu masih banyak pohon bambu di Bogor dan Sungai Ciliwung masih lebar. “Sekarang pohon bambunya habis, udah banyak perumahan di sana. Ciliwung-nya udah sempit, airnya juga dangkal,” ujar kakek dari 27 cucu ini.
Selain dari wilayah Bogor, kini bambu-bambu itu dikirim dari Sukabumi menggunakan truk. Jika stok bambu sudah menipis, atau ada order besar, mereka pesan bambu via telepon. Tidak sampai dua hari kiriman datang.
Awalnya ada sekitar 20 pedagang bambu di sana, karena peminat makin berkurang, sebagian besar gulung tikar atau ganti usaha lain. Hasbih masih bertahan karena dia punya prinsip, bambu masih tetap dibutuhkan. “Bambu itu banyak gunanya, bukan cuma jadi tiang doang,” ujarnya.
Memang banyak jenis bambu, namun hanya beberapa jenis saja yang dijualnya, seperti Bambu Andong, Bambu Betung, Bambu Tali dan Bambu Hitam. Bambu Andong  dan Betung biasanya digunakan untuk tiang, Bambu Tali dipakai untuk anyaman dan bilik, sedangkan Bambu Hitam cocok dibuat meja kursi.
Seperti pedagang lain, Hasbih menggunakan bantaran kali sebagai lapak. Ada tumpukan bambu setinggi 5 meter di lahan seluas 8 x 12 meter. Sementara  di teras sebuah bangunan semi permanen tempat tinggalnya ada beragam barang dagangan terbuat dari bambu, seperti obor, bilik, jaro, krey dan satu set meja kursi dari bambu.
Hasil kerajinan dari bambu itu tidak diproduksi sendiri, tetapi kiriman dari Bogor. “Banyak yang nitip dagangan di sini, nanti kalo udah laku baru saya bayar. Kalo gak laku-laku yang dibiarin aja sampe rusak dimakan rayap,” papar ayah dari 12 anak ini.
Delapan tahun belakangan ini peminat bambu semakin sedikit. Mungkin posisi bambu sudah digantikan dengan bahan bangunan lain seperti kayu atau besi. Jika sedang beruntung, dalam satu  hari Hasbih bisa menjual bambu dalam jumlah besar. “Kalo lagi sepi, seharian juga gak ada yang beli,” kisahnya.
Harga bambu dikisaran Rp. 4000,- sampai Rp. 9.000,- perbatang.  Biasanya pembeli partai besar untuk steger di proyek-proyek besar atau untuk tiang bendera dan umbul-umbul jika ada partai atau ormas sedang ada acara. Selebihnya mereka yang membeli perbatang untuk keperluan tertentu.
Ketika banjir musiman tahun 2005 lalu, kawasan itu ‘lenyap’. Air Cilwung meluap hingga atap rumah. “Semua dagangan saya hanyut. Ya, namanya musibah. Ini resiko tinggal di pinggir Ciliwung,” ungkap Hasbih yang rugi belasan juta karena banjir.
Sebelumnya pria sepuh yang masih memiliki semangat tinggi ini tinggal bersama keluarga di lapaknya. Setelah anak-anaknya berumah tangga, dia tinggal bersama istri dan putra bungsu yang membantunya menjalankan bisnis bambu menggantikan sang ayah menjadi juragan bambu.*

1 komentar:

  1. sy mau pesan bambu partai besar, utk ket lebih lanjut bs hub 081288533587

    BalasHapus