Halaman

Minggu, 10 Juli 2011

Kaki Lima Bisnis Emas Batangan

Tempat usahanya di trotoar. Alatnya cuma timbangan, batu LM dan air raksa. Pelanggannya, mereka yang mau jual emas, mulai cincin bayi sampai emas batangan.


Sekitar pukul 9 pagi, Agus (49), baru saja memajang lemari timbangan diatas meja kecil persis di sebelah pintu masuk Kantor Pegadaian Jatinegara, Jakarta Timur itu menerima  telepon dari ‘orang dalam’ pegadaian.


Selang beberapa menit, seorang perempuan paruh baya keluar dari pegadaian. Dengan sigap Agus bangkit dari kursi plastiknya, pasang senyum ringan, kemudian menghampiri wanita yang tampak bingung itu. “Ada yang bisa saya bantu Bu?” sapa Agus ramah.


“Saya mau nebus kalung, tapi gak punya uang, kalung saya mau dilelang kalau gak ditebus hari ini,” cerita perempuan itu.   


Agus menawarkan jasa dirinya bisa menebus kalung seberat 5 gram itu dengan catatan perempuan itu harus menjual kalung tersebut kepadanya. Selisih uang setelah dipotong harga jual dan nilai tebusan menjadi milik perempuan itu.


Ketimbang kalungnya lenyap di meja lelang, perempuan itu setuju. Kemudian mereka sama-sama menebus kalung di pegadaian. Meskipun tetap ‘kehilangan’ kalung emasnya, namun perempuan itu masih punya uang selisih sesuai kesepakatan.


“Prinsipnya, sama-sama untung. Gak ada yang dirugikan,” ujar Agus yang sudah lebih dari 25 tahun menjalani profesi jual beli emas kaki lima. Di sekitar Kantor pegadaian itu sediktinya ada 12 ‘pengusaha’ serupa. “Saya paling senior,” ucap Agus bangga.


Di kalangan mereka, cara transaksi yang tadi dilakukannya tersebut disebut ‘beli surat gadai’. Banyak nasabah yang harus kehilangan emasnya di mejal lelang karena tidak mampu menebus. “Apalagi sekarang, harga emas lagi bagus, sayang kalau sampai dilelang,” papar ayah 3 anak dan kakek 4 cucu ini.


Agus mengaku sering dapat informasi dari ‘orang dalam’ pegadaian jika ada nasabah yang mengalami kesulitan dana. “Dia telepon atau sms. Dia sebutin ciri-ciri dan pakaiannya. Pas orang itu keluar, saya tawarkan jasa,” ungkapnya.


Tapi, tidak semuanya berjalan mulus, karena tidak semuanya tertarik. Bahkan  Agus sering dicuekin bahkan dimarahi. “Mungkin dia lagi mumet, terus saya rayu-rayu suruh jual emasnya. Dia malah marah-marah. Siapa yang mau jual, sembarang kamu ya!” ujar Agus menirukan makian itu.


Selain beli surat gadai, Agus lebih sering melayani orang yang menjual emasnya. Biasanya mereka jual ke sini karena tidak memiliki surat dari toko tempatnya membeli. “Mungkin suratnya hilang. Emas yang nggak pakai surat suka ditolak di toko, kalau pun diterima, harganya jatuh,” paparnya.


Meskipun tahu, mereka yang jual emas karena butuh uang, namun Agus pantang memanfaatkan situasi. “Saya pakai patokan harga standar. Yang penting masih ada lebihnya buat saya,” kata Agus.


Jika ada pemulung atau orang yang jual emas dari hasil ‘nemu’ di jalan, Agus suka menawar ‘seenak’nya. “Kelihatan dari barangnya, udah kotor, penyok-penyok. Yang jual juga dekil,” kelakar Agus.

Emas Batangan
Agar tidak dituduh sebagai penadah, Agus mengaku sangat cermat menyeleksi orang yang mau jual emasnya. “Kalau tampang serem, mau jual emas dalam jumlah besar, pasti saya tolak. Bilang aja baru ‘angkat barang’, modalnya habis,” cerita agus.




Menurutnya, sulit juga menilai orang hanya dari penampilannya saja. Terbukti beberapa bulan lalu, temannya sempat berurusan dengan polisi gara-gara beli emas dari seorang remaja keturunan Cina. “Dia ngaku disuruh ibunya jual emas buat bayar sekolah,” ungkap Agus.

Dua hari kemudian polisi membawa temannya itu untuk diperiksa sebagai saksi. Ternyata emas itu hasil curian. “Anak itu nyolong emas ibunya, terus dijual buat foya-foya. Untung barangnya belum dilebur, jadi kasusnya bisa kelar. Temen saya cuma jadi saksi aja,” terang Agus yang juga sering beli emas batangan.


Sebagai ‘pengusaha kaki lima’, modal Agus sangat terbatas. Dia hanya mampu membeli emas paling banyak sehari 5 sampai 10 gram. Kemudian emas itu dijual kembali kepada pengepul emas yang disapa ‘Bos’. “Sama si bos, emasnya dilebur lagi,” papar Agus.


Jika ada yang ingin jual emas diatas 10 gram atau emas batangan, Agus segera mengontak bosnya. Sebelum nge-deal harga, dia mengecek dulu keaslian dan kadar emasnya. Pertama emas digesekan ke batu LM, batu khusus untuk mengetes kadar emas. Kemudian diolesi air raksa emas, dan air raksa koneng.


“Kalau emas, bekas gesekannya nggak hilang setelah dikasih air raksa. Tapi kalu bukan emas langsung hilang. Kalau perak, bekas gesekanya berubah putih  seperti santen. Nah, kalau harga udah cocok, nanti bos saya yang beli, saya cuma ambil komisinya aja, upah gesek-gesek,” terang Agus.


Agus yang mewarisi usaha kakeknya ini belajar mengenal kadar emas secara otodidak. Dia pernah membeli cincin yang ternyata hanya dilapis emas. “Waktu saya gesek memang emas asli, eh pas mau dilebur ternyata dalamnya perak,” ungkap Agus yang nombok sampai Rp900 ribu. Angka cukup tinggi sepuluh tahun silam.


Agar tidak tertipu lagi, jika merasa curiga, Agus minta persetujuan untuk memotong perhiasan itu setelah deal harga. “Nih, saya sudah siapkan tang pemotongnya,” paparnya.


Uang Longok
Sambil membersihkan timbangan tua warisan kakeknya, Agus mengucap syukur bisa menghidupi keluarga hingga sekarang. “Tanggung jawab saya tinggal satu, nyekolahin anak bungsu saya yang masih kelas 3 SMP. Kakak-kakanya udah pada kawin, semuanya dibiayai dari usaha ini,” paparnya.


Meskipun tidak ada kepastian, namun Agus mengaku ikhlas menjalani usahanya itu. Dalam sebulan bisa 3 sampai 4 kali nihil tidak ada transaksi. “Dapetnya nggak pasti, kalau dirata-rata, sehari bisa ngantongi lima puluh ribu,” ungkapnya.


Ada kebiasaan unik di kalangan mereka. Jika diantara mereka kebetulan nihil, teman yang dapat rejeki wajib memberinya Rp5000. “Misalnya saya baru dapat barang, temen saya lagi apes. Biasanya dia datang ke saya, nah saya harus kasih goceng tuh. Namanya ‘uang longok’. Begitu juga kalao saya lagi nihil,” terang Agus.


Pria bersahaja yang tinggal di Kampung Pulo, Jatinegera, tidak jauh dari tempatnya usaha itu mengaku merasa tertolong dengan adanya handphone. “Dulu kalau ada yang mau jual, saya harus jalan ke pasar cari-cari bos. Orangnya pindah-pindah, sekarang nongkrong di Jatinegara, besok di Kramat Jati. Sekarang tinggal telepon aje,” kata Agus sambil memamerkan Nokia pisangnya.


Selain sebagai lahan cari nafkah, pria kelahiran Jakarta ini merasa juga melakukan ibdah dengan membantu orang yang kesulitan uang. Dan Agus merasa sebagai orang paling ramah sedunia. “Setiap yang lewat saya sapa dengan senyum sambil bilang... mau jual emas...”*

1 komentar: