Banyak lahan kosong di Jakarta dimanfaatkan untuk pertanian kota, salah satunya di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Tanah luas itu ditanami bermacam sayuran. Hasil panennya masuk di banyak rumah makan terkenal.
Pagi itu, persimpangan Jalan Pemuda masih lengang. Jarum jam baru beranjak dari angka 6 pagi. Beberapa asongan koran, rokok dan masker penutup wajah masih santai di bawah tiang lampu merah.
Beberapa meter dari persimpangan yang sebentar lagi dipadati kendaraan itu, kesibukan sudah dimulai. Belasan pria berkulit gelap bolak-balik menyiram tanaman dari dua ember besar dipikulan. Di lahan luas yang sempat jadi pemukiman liar itu kini berubah hijau, segar dan menjadi sumber penghasilan bagi banyak orang di sana.
Dekat pintu masuk lahan seluas 1,8 hektar itu berdiri papan nama yang sudah usang. Samar-samar terbaca tulisan yang menjelaskan tanah tersebut dikuasai Pemkot Jakarta Pusat. Lantas bagaimana ceritanya lahan ‘sengketa’ itu bisa dimanfaatkan oleh para petani kota tersebut.
“Jangan disebut tanah sengketa, kurang enak didengarnya. Ini milik Pemda, saya dipercaya untuk mengelolanya selama belum dimanfaatkan. Kalau dibiarkan, nanti jadi pemukiman liar, kan repot,” ujar Tri (41) yang mengaku bertanggung jawab kepada seseorang pejabat di lingkungan Pemda.
Hari itu, Tri sedang memperbaiki satu mesin pompa air yang rusak. Untuk memenuhi kebutuhan semua tanaman dilahan itu dibutuhkan lima mesin pompa. “Kalau rusak begini, pasokan airnya bisa kurang, kalau dibiarkan bisa gagal panen. Tanaman di sini hampir semuanya harus sering disiram,” ungkap Tri yang dibantu Rizal (21) memperbaiki mesin pompa tersebut.
Lahan seluas itu digarap oleh lima pemborong yang telah mendapat ‘jatah’ lahan garapan sesuai kesepakatan dengan Tri selaku pengelola lahan. Tiap pemborong mempekerjakan buruh tani antara 2 sampai 5 orang. Mereka dibayar Rp30.000 perhari. Tugas mereka mulai dari menanam bibit sampai panen.
Semua kebutuhan bercocok tanam menjadi tanggung jawab pemborong. Mulai dari membeli bibit, pupuk dan obat anti hama. “Semua kebutuhan mulai dari membeli bibit sampai panen, termasuk bayar uang listrik menjadi tanggung jawab saya,” ujar Rizal, yang meneruskan ‘jabatan’ pemborong dari ayahnya.
Hampir semua yang menggantung hidup di lahan itu berasal dari Bogor, Jawa Barat. Rizal melanjutkan posisi ayahnya sebagai pemborong sejak tiga tahun silam itu. Sang ayah sudah mengadu nasib sebagai petani kota sejak lahan itu ‘dibersihkan’ dari penghuni liar sekitar tahun 1999 lalu. Kini lelaki sepuh itu memilih istirahat di Bogor sambil tunggu setoran dari anaknya.
Para pemborong hanya menanam lima jenis sayuran yang dianggap mudah dijual, seperti kangkung, selada, sawi putih, kemangi dan bayam. Rizal lebih suka menanam selada dan dan kemangi karena sudah punya pelanggan tetap.
Selain membawa hasil panen ke pasar terdekat, mereka juga punya konsumen tetap penjual masakan pecel lele dan beberapa rumah makan di sekitar Jakarta. Terkadang ada konsumen rumah tangga datang membeli untuk dikonsumsi sendiri. Alasan mereka, selain masih segar, harganya lebih murah. Sebuah rumah makan terkenal yang mengandalkan menu bebek kremes menjadi pelanggan tetap Rizal.
“Datangnya sih nggak setiap hari, tapi sekali belanja bisa sampai 500 ribu. Kalau kebetulan saya tidak siap panen, nanti saya suruh ambil di temen saya (pemborong lain) yang sudah bisa panen,” cerita Rizal tentang rumah makan itu
.
Agar tanamannya bisa sering dipanen, para pemborong harus bisa mengatur waktu tanam yang tepat. Sekian ratus pohon ditanam hari ini, ratusan lain di hari berikutnya. Habis panen langsung tanam lagi, begitu seterusnya. “Tapi, bisa gagal panen juga kalau kurang hati-hati merawatnya,” terang Rizal.
Pemborong muda ini mengaku, setiap minggu wajib setoran ke Bogor. Setelah dipotong semua biaya, paling sedikit Rizal serahkan sekitar Rp2 juta. “Mungkin penghasilan saya paling kecil, karena tanahnya paling sedikit. Pemborong lain tanahnya lebih luas,” tutur Rizal yang mengantongi sedikitnya Rp200 ribu setiap minggu untuk kebutuhan pribadinya.
Dibayar Harian
Tumbuh subur atau matinya tanaman di sana tergantung dari perlakuan Suganda Cs. Bersama 24 buruh tani lainnya, pemuda berusia 25 tahun mulai pagi hingga petang berkutat di antara tanaman di bawah terik matahari.
“Tugas saya apa ya.., ya semuanya. Maculin tanah, tanam bibit, siram tanaman, sampe panen. Hidup matinya tanaman ini tergantung saya. Kalo si bos (pemborong) kan tahunya panen, terima uang. Semuanya kita yang ngerjain,” ungkap Suganda yang juga asli Bogor ini.
Sudah hampir setahun Suganda menjadi anak buah Rizal. Sebelumnya dia kerja serabutan, termasuk pernah menjadi penjual balon keliling. “Enak di sini sih, nggak usah muter-muter kayak waktu jualan balon. Sehari dibayar tiga puluh. Dua puluh disimpen, sepuluhnya buat makan sama rokok,” cerita Suganda yang hanya ambil upah kalau sedang butuh atau ingin pulang ke Bogor saja.
Mungkin upah sebesar itu relatif cukup untuk Suganda yang masih lajang. Namun untuk Sarip (38), upah sebesar itu hanya cukup untuk makan istri dan dua anaknya. Anak sulungnya sudah kelas 2 SD, sementara yang si bungsu tahun ini masuk SD. “Untung istri saya bantuin. Dia jualan nasi buat temen-temen di sini,” ujra Sarip yang setiap pagi mengantar anaknya sekolah di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.
Awalnya Mumun (36), sang istri menolak diajak tinggal di kebun itu. Selain harus tinggal bersama yang lain di rumah bedeng kumuh, Mumun juga merasa takut hidup di tengah kota tapi tidak ada tetangga. “Eh, sekarang dia betah. Bisa jualan nasi buat nambah-nambah,” ungkap Sarip senang.
Rizal, Suganda, keluarga Sarip dan mereka yang mengandalkan hidup dari lahan sengketa itu tidak tahu sampai kapan bisa bertani disana. “Diawal kita sudah membuat perjanjian tidak akan menuntut apa-apa jika tanah ini akan digunakan oleh pemiliknya,” ujar Tri yang juga mengelola lahan serupa di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar