Awalnya ikut foto pre wedding, kemudian main iklan bareng Giring Nidji, kemarin syuting sinetron ‘Gadis Plastik’. Itulah ‘karir’ onthel tua milik Isworo.
Sejak dicanangkan museum sebagai tujuan wisata, banyak perubahan terjadi di bangunan-bangunan di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Selain dipercantik, bangunan bersejarah itu pun kini menjadi maskot wisata Jakarta.
Setiap hari, terutama hari libur, banyak pelancong singgah. Museum Sejarah Jakarta yang dahulu dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah menjadi pusat keramaian. Kawasan yang semula sepi itu, kini hidup dan menjadi lahan mencari uang bagi segelintir warga Jakarta.
Isworo (38), merupakan satu dari puluhan orang yang menikmati berkahnya program Wisata Museum. Sejak tahun 2007, pria asal Yogyakarta yang sudah lama menetap di Jakarta ini dipercaya mengelola belasan sepeda onthel sewaan di kawasan Kota Tua. Ayah dari dua putri ini mangkal di halaman Museum Sejarah Jakarta.
Bersama enam teman seprofesi, setiap hari mereka ‘memejeng’ sekitar 230 sepeda. “Sepeda saya cuma satu, lainnya milik bos,” ujar Isworo sambil menunjuk sepeda tua hitam yang sudah kusam. Menurut mantan sopir taksi ini, dia dan enam temannya hanya pengelola yang wajib setoran kepada bosnya.
Hampir semua sepeda itu sudah sepuh. Bahkan ada yang tahun produksinya sebelum kita merdeka, alias warisan Belanda dan Jepang. Namun sayang, hanya demi menarik minat pengunjung, sepeda-sepeda itu dicat dengan warna cerah mengganti warna orisinilnya. “Kalau nggak dicat begini, jarang yang mau naik,” ujar Isworo.
Di beberapa titik halaman museum yang selalu ramai dengan pedagang kaki lima itu Isworo dan temannya mangkal. Diantara barisan sepeda tua warna-warni itu pasti ada beberapa onthel orisinil.
Sepeda yang masih lengkap dengan ‘atribut’nya itu biasanya diminati orang yang mengerti tentang sepeda tua. “Pengunjung kelahiran Jawa Tengah biasanya pilih yang masih ori (orisinil). Mereka ingin nostalgia saat bersepeda di kampungnya,” terang Isworo.
Kehadiran sepeda sewaan ini berawal dari kesepakatan pengelola Museum Sejarah Jakarta dengan Komunitas Onthel Wisata Kota Tua yang kini beranggota 38 pemilik onthel. Di komunitas yang dibentuk tahun 2007 itu, Isworo menjebat sebagai wakil ketua.
Dibawa Kabur
Komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah pengojek sepeda itu semula hanya kongkow-kongkow di halaman museum. Hingga suatu ketika ada fotografer pre wedding yang meminjam salah satu onthel menjadi properti pemotretan. “Waktu itu dibayar lima puluh ribu,” kenang Isworo.
Karena sering disewa untuk pre wedding, akhirnya mereka jadi sering kumpul di sana sampai terbentuk komunitas tersebut. Dari sanalah muncul ide menyewakan onthel. “Enak disewakan, kita gak capek gowes lagi,” terang Iip (40), anggota komunitas yang masih menyandang profesi pengojek sepeda.
Saat itu, hampir setiap hari pengojek sepeda anggota komunitas mangkal di dekat museum berharap ada tertarik menyewa onthel-nya keliling museum. “Kalau ngojek dari Stasiun Kota ke Mangga Dua paling mahal dibayar goceng (Rp5000,-). Disewain sebentar dapat noban (Rp20.000,-),” ungkap Iip yang kelahiran Jakarta.
Ongkos sewa onthel sudah dipatok seragam Rp20.000,- selama satu jam plus dua topi kalau ingin boncengan. Penyewa hanya bisa berkeliling di sekitar museum saja, kalau melewati batas area akan ‘disemprit’ keamanan yang jaga di beberapa titik pintu keluar.
Jika ingin bernostalgia lebih jauh dan lebih lama, penyewa bisa pesan paket lintasan lima lokasi dengan tarif Rp.30.000,- persepeda ditambah biaya guide alias pendamping Rp. 30.000,-.
“Penyewa harus didampingi karena harus lewat jalan raya dan singgah di lima lokasi wisata, seperti Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari, Menara Syah Bandar, Jembatan Kota Intan, dan Toko Merah. Kalau nggak pakai pendamping bisa kesasar,” ungkap Isworo.
Menurut Iip yang lebih memilih jadi guide ketimbang ngojek ini, fungsi pendamping selain mengarahkan juga mengawal agar sepeda tidak dibawa kabur penyewa. Harga onthel yang lumayan mahal itu pasti menggoda penjahat mencurinya, seperti yang dialami Isworo.
Sekitar tahun 2008 kawasan museum belum ‘steril’ seperti sekarang. Penyewa onthel belum diawasi ketat sehingga bisa bebas gowes sampai luar area. Suatu hari ada sepasang remaja menyewa onthel Isworo, namun sampai sekarang ontehl itu tidak kembali. “Saya tidak curiga, yang cewek masih pakai seragam sekolah, cowoknya pakaian biasa. Eh, malah maling,” tuturnya.
Jika dibandrol, harga sepeda keluaran Jerman merek Simpson produksi tahun 1940-an sekitar 3 sampai 5 juta rupiah. Namun Isworo lebih rela kehilangan uang sejumlah itu dibanding kehilangan onthel Simpson-nya.
“Jaman Jepang, kakek saya itu tentara Heiho. Dia dikasih sepeda Simpson untuk patroli. Saya menyesal sekali tidak bisa menjaga warisan berharga itu. Kalau boleh pilih, lebih baik kehilangan uang. Bisa cari lagi. Tapi cari sepeda seperti itu lagi sangat langka,” keluhnya.
Bintang Iklan
Setelah ‘pensiun’ jadi sopir taksi, Isworo yang sejak kecil suka dengan onthel warisan kakeknya itu segera memboyong Simpson tua dari kampungnya ke Jakarta. Karena banyak waktu luang, dia lebih sering mengurus ‘pusaka’ itu dan sering kumpul bersama onthelis lain di kawasan kota.
Lantaran banyak permintaan foto untuk pre wedding dan foto session para fotografer pemula, Isworo cs mulai serius menanggapi ‘bisnis’ barunya itu. Mereka lebijh serius merawat sepeda tuanya sambil melengkapi dengan spart part aslinya.
Karena onthel-nya raib digondol orang. Isworo terpaksa berburu onthel. Dari seorang teman dibisa memiliki lagi satu onthel merek Philips. Entah kenapa, dari sekian banyak onthel di kawasan itu, justru milik Isworo yang sering dapat job.
Diawali dari foto pre wedding dengan tarif Rp.50.000,-, onthel itu dipakai syuting iklan rokok bersama grup band Nidji. “Onthel saya yang dinaiki Giring. Lumayan dapat lima ratus ribu. Saya jadi tambah bangga sama sepeda ini,” papar Isworo.
Kalau hanya sekedar jadi properti pemotretan, hampir setiap bulan Isworo dapat job. Belum lama ini, onthelnya juga dipakai sebagai properti pembuatan sinetron Gadis Plastik. “Onthel saya dibawa ke lokasi syuting. Sampai sekarang saya belum lihat sinetronnya,” ujar pria yang mengaku sedikit lancar berbahasa Inggris ini.
Meskipun belum lihat ‘akting’ sang onthel, namun Isworo puas dan bangga. Ternyata sepeda tua itu telah menjadi bagian hidup dirinya dan keluarga. Dari sepeda itu dia bisa menghidupi istri dan dua anaknya. “Yang besar sudah lulus SMEA. Sebentar lagi mau kawin,” ungkapnya.
Isworo hanya satu potret dari sekian banyak orang yang masih mengantungkan hidupnya dari alat transportasi kuno beroda dua yang meliuk-liuk di padatnya lalulintas Jakarta.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar