Belum genap setahun ini sudah 28 orang tewas di pancung di Arab Saudi, salah satunya Ruyati binti Saboti Saruna, TKW asal Bekasi. Ironisnya, hukuman mati itu terjadi setelah SBY pidato tentang perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di forum internasional.
Vonis mati yang ditimpakan kepada Ruyati (54) itu berawal dari kasus pembunuhan yang terjadi pada 12 Januari tahun lalu. TKW asal Kampung Ceger, Sukatani, Bekasi itu dituduh telah membunuh istri majikannya menggunakan pisau pemotong daging. Di depan pengadilan Ruyati mengakui semua tuduhan itu.
Versi pemerintah, sejak pengadilan mulai berjalan, Kementerian Luar Negeri sudah memberikan pendampingan hukum terhadap Ruyati dan terus mengupayakan adanya pengampunan. Namun, pemerintah Arab Saudi tidak mau memaafkan perbuatan Ruyati.
"Proses hukum mulai dari pendampingan sampai meminta pengampunan itu sudah dilakukan. Menkum HAM sendiri sudah datang ke Arab dan meminat agar tidak ada hukuman mati. Kita juga sudah menulis surat. Namun pemerintah Arab Saudi masih saja melakukan hukuman mati tersebut," ucap Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Tatang Razak.
Namun pembelaan pemerintah itu terbantahkan oleh pengakuan putri Een Nuraeni, putri Ruyati. "Kalau saya tidak kasak-kusuk sendiri, mana mungkin saya bisa tahu perkembangan kasusnya. Saya ke tanyakan langsung ke Kementerian Luar Negeri, BNP2TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi," ujar Een yang merasa berjuang sendirian untuk mencari tahu perkembangan ibunya.
Een kecewa berat kepada pemerintah yang hanya bisa memberikan informasi tentang perkembangan kasus ibunya tanpa bisa berbuat bannyak dan tidak proaktif. "Mereka memang selalu menanggapi informasi yang saya minta. Tapi, saya bingung, kenapa ibu saya kasusnya baru satu tahun kok sudah dieksekusi," katanya.
Ironisnya, keluarga lebih dulu dikabari tentang eksekusi mati itu dari LSM Migrant Care beberapa jam setelah hukum pancung yang dilakukan di Mekkah pada Sabtu (18/6) kemarin, sementera pemerintah yang diwakili Kemenlu baru memberi kabar pada Minggu (19/6) pagi.
Kini keluarga sedang konsentrasi dalam proses pemulangan jenazah Ruyati yang ternyata tidak sederhana prosedurnya. Untuk memulangkan jenazah, pihak keluarga harus mengajukan permohonan ke Kementerian Luar Negeri. Keluarga tidak ingin kasusnya seperti Yanti Irianti yang juga dipancung, namun hingga kini jenazahnya belum bisa dipulangkan.
Pemerintah Teledor
Kasus ini sangat bertolak belakang dengan pidato Presiden SBY pada Sidang ILO ke-100 14 Juni lalu yang menyatakan mekanisme perlindungan pada TKI sudah berjalan dangan baik, tersedia institusi dan regulasinya. "Dengan kasus ini, jelas memperlihatkan bahwa apa yang dipidatokan Presiden SBY di ILO tidak sesuai dengan realitas," ujar Direktur Eksekutif Anis Hidayah.
Menurut Anis, eksekusi mati terhadap Ruyati merupakan bentuk keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam kasus Ruyati, publik tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia.
Keteledoran ini juga pernah terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, PRT migran Indonesia asal Cianjur yang juga tidak pernah diketahui oleh publik sebelumnya. Bahkan hingga kini jenazah Yanti Iriyanti belum bisa dipulangkan.
Menengok kebelakang dalam kasus Ruyati, Migrant Care telah menyampaikan perkembangan kasus ini kepada pemerintah Indonesia sejak Maret 2011, namun belum ada tindak lanjut. Migrant Care mendesak Presiden SBY untuk mengusut tuntas keteledoran diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia.
"Kami mendesak agar dilakukan evaluasi kinerja terhadap para pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus ini seperti Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI dan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia," papar Anis.
Pemerintah membantah dituding teledor. Melalui juru bicara
Kementerian Luar Negeri Michael Tene menyampaikan kecamannya terkait eksekusi mati TKI di Arab Saudi. "Tanpa mengabaikan sistem hukum yang berlaku di Arab saudi, pemerintah Indonesia mengecam bahwa pelaksanaan hukuman mati terhadap Ruyati tidak diinformasikan kepada KBRI kita di Riyadh sebelumnya," kata Michael.
Menurutnya, selama ini KBRI di Ryadh mengetahui kasus yang dialami Ruyati dan sudah mencoba dengan berbagai cara melindungi TKI tersebut baik mendampinginya selama mengikuti persidangan maupun mengusahakan untuk mendapat pengampunan dari keluarga korban. Namun, kata Michael, KBRI Riyadh sama sekali tidak diberi tahu mengenai waktu eksekusi Ruyati.
"Eksekusi tersebut dilakukan tanpa mengindahkan praktik internasional yang berlaku terkait dengan hak tahanan asing untuk mendapat bimbingan kekonsuleran," kata Michael.
Dia menambahkan sebagai respon atas kasus ini , maka pemerintah Indonesia dalam waktu dekat akan melayangkan surat kepada Duta Besar Arab Saudi di Indonesia yang berisi mengenai sikap pemerintah terhadap eksekusi Ruyati.
Menyakapi kasus ini, pemerintah baru melacak Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkan Ruyati dan mengurus asuransinya. "Saat ini kita sedang kejar Asuransinya. Semoga saja tidak mati. Tapi kita tetap usahakan terus," ujar juru bicara dan staf khusus, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar, Dita indah Sari.
Tidak Lumpuh
Ruyati diberangkatkan PT Dasa Graha Utama, PJTKI yang berbasis di Jakarta. Dia bekerja di sebuah keluarga untuk mengurus seorang wanita tua dan lumpuh, mertuanya sang majikan. Sampai pelaksanaan hukuman pancung, pihak Indonesia tidak tahu pasti apa sebenarnya yang melatar belakangi pembunuhan itu.
"Dari awal tidak tahu proses pengadilannya di Arab Saudi. Mungkin pemerintah tahu prosesnya. Karena dari pihak keluarga juga tidak mengetahui," kata staf advokasi Migrant Care, Nining Johar.
Sejak kasus ini disidangkan tahun 2010, Migrant Care mencoba menelusuri proses pengadilan di Arab Saudi namun tidak berhasil mendapat informasi yang jelas. “Sebenarnya yang jahat itu pihak mertuanya, yang diberitakan lumpuh sebenarnya tidak lumpuh, karena dia sebenarnya yang jahat," ujar Nining.
Nining menceritakan, Ruyati justru selama ini yang terus mendapatkan kekerasan dari mertua majikannya di Arab Saudi. Saat buka puasa, tidak diberikan minum dan makan. Bahkan, dia pernah masuk rumah sakit karena luka di kakinya karena kekerasan.
Meski banyak tekanan dari majikannya, selama ini Ruyati tidak pernah mengeluh. Meski sering berkomunikasi dengan keluarganya di Tanah Air, TKW malang ini tidak pernah mengutarakan permasalahannya.
Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat, Ruyati membunuh istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani. "Saat disidang, Ruyati mengaku membunuh setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan," kata Jumhur.
BNP2TKI mengaku sudah berupaya maksimal agar hukuman pancung itu tidak terjadi. “Sebelumnya KJRI Jeddah telah berupaya keras agar Ruyati tidak dipancung dengan cara meminta lembaga pemaafan (lajnatul afwu) untuk membebaskan dari hukuman mati tersebut," kata Jumhur.
Namun menurut Jumhur, keluarga korban bersikeras tidak mau memaafkan. Hukum di Arab Saudi sudah baku. Bila seseorang membunuh maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman mati sampai keluarga korban memberi maaf untuk tidak dihukum mati.
Amnesty International, lembaga pemantau HAM yang berpusat di London menyebutkan , tahun lalu Arab Saudi telah memancung 27 orang. Tahun 2009, jumlah yang dieksekusi mencapai 67 orang, sedangkan pada 2008 sebanyak 102 orang. Sementara tahun 2007, 158 orang dipenggal kepalanya. Amnesty International mendesak pemerintah Arab Saudi menghentikan hukuman mati.
Sekarang sedikitnya ada 1,2 juta orang Indoensia bekerja sebagai TKI di luar negeri, 70 persen berada di Arab Saudi. Jika mereka tidak dilengkapi dengan keterampilan, bahasa dan mental yang baik, mereka sangat rentan tersandung masalah hukum yang berujung dipancung.
Untuk menyikapi kasus ini Migrant Care akan menggelar tahlil massal di depan istana pada Senin (20/6) malam besok. Sebelum tahlil digelar, Migrant Care akan Kementerian Luar Negeri untuk meminta penjelasan lengkap terkait dipancungnya Ruyati.
Koin Darsem
Ruyati sudah dipancung, sementara keluarga Darsem binti Dawud Tawar sedang mengumpulkan uang konpensasi agar TKI asal Subang, Jawa Barat itu lolos dari hukuman mati di Arab Saudi.
Darsem didakwa membunuh majikannya, warga negara Yaman. Pembunuhan terjadi karena dia membela diri dari upaya pemerkosaan oleh korban. Pengadilan di Riyadh, Arab Saudi, memvonis mati pada 6 Mei 2009.
Berkat bantuan pihak Lajnah Islah Riyadh dan juga pejabat Gubernur Riyadh, Darsem mendapat pemaafan. Namun ahli waris korban mau memberi maaf dengan kompensasi sebesar 2 juta riyal atau Rp 4,7 miliar.
Ada dua kemungkinan penyelesaian kasus Darsem, yakni proses banding atau membayar konpensasi. Agar Darsem bisa lolos dari hukuman mati, kini banyak bermunculan kelompok yang bersimpati dengan mengunpulkan koin untuk Darsem.
Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat, akan mengumpulkan koin buat menolong nasib Darsem. "Selain dari masyarakat umum, koin akan kami kumpulkan dari para pejabat eselon II hingga V dan semua pegawai negeri sipil," ujar Eep Hidayat, Bupati Kabupaten Subang.
Di jejaring sosial dunia maya juga bermunculan ajakan menyumbangkan koin untuk Darsem yang butuh uang konpensasi sangat besar itu. Kita tunggu langkah apa yang akan dilakukan pemerintah untuk melepaskan Darsem dan 26 TKI lain dari hukuman mati.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar