Nazaruddin yang satu ini bukan buronan KPK, dia hanya orang yang mengais rejeki sebagai penjual celengan. Dia gelar dagangan di trotoar jalan, dia tidur dan makan di trotoar itu juga bersama Asep, putra sulungnya.
Namanya memang sama dengan mantan bendahara Partai Demokrat, tapi nasib mereka berdua ibarat bumi dan langit. Nazaruddin ini berasal dari Purwakarta, tepatnya Plered, kawasan para perajin guci dari keramik. Pria berusia 40 tahun ini profesinya sebagai penjual tempat menabung uang alias celengan terbuat dari tanah liat.
Sudah lebih 15 tahun pedagang yang biasa disapa Udin ini melakoni profesinya. Baru dua tahun lalu dia melibatkan Asep (15) putra sulungnya sebagai asisten. “Buat bantu-bantu bawa dagangan. Itung-itung sambil belajar. Kalau sudah bisa, biar dagang sendiri saja,” ujar Udin pasrah jika sang anak ingin ikut jejaknya.
Udin tertarik menjadi penjual celengan karena hampir semua tetangganya di kampung melakoni hal serupa. “Ada yang kerja di pabrik keramik, pabrik celengan, ada Bandar celengan, ada juga yang dagang gini kayak saya,” ujarnya sambil menikmati makan siang nasi bungkus bersama Asep.
Sudah setahun ini Udin mangkal di sisi Jalan Bangunan Timur, Kayu Putih, Jakarta Timur. Dia boyong sekitar 200 buah celengan berbentuk ayam, maca, kelinci, kucing, gajah dan bentuk lainnya dari Purwakarta. “Ada beberapa pedagang patungan sewa mobil bak dari Purwakarta,” ujar Udin.
Ratusan celangan itu digelar semua di trotoar sehingga menyajikan pemandangan warna-warni yang menarik. “Yang beli macem-macem. Ada yang dipake buat nabung, ada juga yang buat pajangan. Orang-orang kaya yang pake mobil banyak juga yang suka. Kalo beli suka banyak,” cerita Udin yang mematok harga antara Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribb ini.
Udin dan anaknya hanya mengandalkan trotoar saja, tanpa meja apalagi tenda. “Kalau panas sih udah biasa, pake topi juga udah adem. Tapi kalo hujan kita lari ke situ buat neduh. Dagagannya ditutup plastik,” papar Udin sambil menunjuk tempat kios tambal ban diseberang jalan.
Usahanya ini buka 24 jam karena Udin dan Asep tidur bersama celengan di trotoar itu. “Sering juga, malem-malem lagi tidur ada yang beli. Namanya rejeki yang jangan ditolak,” ungkap ayah dari 4 anak yang sudah siap dengan jaket dan kain sarung untuk mengusir dingin malam.
Tubuh Udin yang kurus sering masuk angin lantaran selalu tidur di tempat terbuka. Kalau sudah merasa kondisi badannya kurang nyaman, dia segera minum obat anti masuk angin di warung. “Biasanya langsung seger lagi tuh,” paparnya.
Mengandalkan trotoar |
Udin berkisah, di bulan-bulan pertama dagang di trotoar dirinya pernah mendapat musibah. Mungkin karena terlalu lelah dan kondisi badannya sedang tidak fit, Udin terserang demam tinggi dan menggigil di trotoar ditemani puluhan celengan.
“Waduh, saya nggak kuat. Sampe celeng (sakit) kayak gitu, badan menggigil. Waktu itu udah mau subuh, mau hujan lagi. Untung ada sopir bajaj yang mau antar saya ke klinik,” kisah Udin yang mengaku sehat lagi setelah minum obat.
Tidak Tetap
Udin dan Asep tidak selalu gelar dagangannya di sana, mereka punya dua titik lagi tempat usaha, di Bintaro Sektor X dan di Bekasi. Setiap bulan dia berpindah-pindah. “Sekali bawa 200 biji, seminggu habis. Saya pulang, istirahat dua hari, terus dagang lagi. Tempat pindah, sekarang di sini, minggu depan di Bintaro, terusnya di Bekasi,” ujarnya.
Meskipun merasa berat dan lelah melakoni usahanya ini, namun Udin tidak punya pilihan lain. “Mungkin memang disini rejeki saya, sejak menikah sampai sekarang, semuanya dibiayai dari sini. Yang penting anak-anak bisa sekolah walaupun tamat SMP kayak si Asep ini,” tuturnya.
Sebenarnya Udin ingin ‘pensiun’ dan memilih menjadi pengepul celengan saja, tapi itu masih jadi angan-angan. “Modalnya gede banget kalo mau jadi ‘bandar’nya. Mau nabung gak pernah bisa, uangnya habis terus buat biaya hidup,” papar Udin yang seminggu bisa dapat sekitar Rp 200 ribu.
Bersaing dengan celengan kaleng dan plastik |
Semula Udin tidak mengerti mengapa celengan tanah liat masih diminati, sementara celengan dari kaleng dan plastik dengan harga lebih murah banyak dijual orang. Lalu dia tanya kepada beberapa konsumennya.
Menurutnya, orang beli celengan keramik untuk mengenang masa kecil dan sambil mengajarkan kebiasan menabung kepada anak-anaknya. Pernah suatu ketika ada seorang wanita paruh baya memborong 20 celengan. “Katanya mau dibagi-bagi ke anak cucunya biar semuanya menabung,” ujar Udin.
Asep yang masih sangat belia mengaku tidak keberatan membantu sang ayah mencari nafkah. Karena kondisi keluarga yang kurang beruntung, Asep harus merelakan masa remaja diisi kerja keras. “Kalau udah bisa jalan sendiri, saya mau pisah, dagang ditempat lain,” papar Asep.
Jika dagangannya tersisa beberapa buah, Udin dan Asep berkeliling perumahan memikul gajah, ayam dan kelinci tanah liat berharap ada yang berminat.*